Banyuwangi, seblang.com– Dalam akhir Januari 2023 Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kabupaten Banyuwangi menggelar rapat harmonisasi dan pemantapan konsepsi 3 (tiga) Rancangan peraturan daerah (Raperda) inisiatif dewan bersama Tim perancang Kantor Wilayah Kemenkum HAM Provinsi Jawa Timur(Jatim).
Menurut Ketua Bapemperda DPRD Banyuwangi, Sofiandi Susiadi ketiga Raperda yang diharmonisasi adalah; Raperda tentang Pengarusutamaan Gender, Raperda tentang Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Osing Banyuwangi dan Raperda Tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren.
Dia menutrukan dalam rapat harmonisasi, pihaknya banyak mendapatkan masukan terkait dengan sistimatika penyusunan, substansi isi dan perkembangan regulasi terbaru.
“ Alhamdulillah untuk harmonisasi Raperda Pengarusutamaan Gender berjalan normal dan telah sesuai. Namun ada masukan dari perancang pembentukan produk hukum daerah Kanwil Kemenkum HAM Jatim yang sifatnya non substansi,” jelas Anggota dewan yang akrab disapa Sofi saat dikonfirmasi wartawan pada Rabu (01/02/2023).
Tim perancang produk hukum daerah Kanwil Kemenkum HAM Jatim menilai Raperda Pengarusutamaan Gender telah sesuai, tinggal melakukan revisi dan menggeser ketentuan dasar hukum sebisa mungkin setingkat Undang-undang (UU) serta terkait dengan penataan Peraturan Bupati (Perbup).
“ Perbup itu memuat hal-hal yang bersifat specifik dan tidak bisa diglobalkan, karena pasal demi pasal ada konsekuensi baik penetapan yang sifatnya Perbup harus dibedakan dengan yang namanya pengaturan, ada yang bersifat global dan specific, “ tambah politisi Partai Golkar Banyuwangi itu.
Selanjutnya untuk Raperda Pengakuan Dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Kanwil Kemenkum HAM Jatim meminta untuk dikaji kembali. Karena berbicara kondisi lokal Banyuwangi dan berdasarkan Permendagri No. 52 Tahun 2007 tentang pedoman pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan nilai sosial budaya masyarakat ada tiga hal yang harus dibedakan.
“ Ketiga hal yang dibedakan yaitu; adat istiadat itu sendiri,masyarakat hukum adat dan desa adat. Dimana untuk desa adat yang menjadi dasar hukumnya adalah UU tentang desa. Kalau adat istiadat itu terkait warisan kebudayaan dan kita sudah mempunyai Perdanya. Sedangkan masyarakat hukum adat yang diharapkan mengacu pada Permendagri No. 52 Tahun 2007 ,“ imbuh Alumni Unibraw Malang itu.
Untuk mengisi kekosongan regulasi daerah terkait masyarakat hukum adat, Kanwil Kemenkum HAM menyarankan untuk sementara cukup menggunakan Surat Keputusan (SK) Bupati. Sementara untuk penyusunan raperda hak-hak masyarakat Osing nomenklaturnya perlu disesuaikan dengan Permendagri No. 52 Tahun 2007 dan harus membentuk tim.
“Arah dan masukan dari perancang Kemenkum HAM Kanwil Jatim sebisa mungkin perda masyarakat adat Osing tidak diskriminati. Jadi masyarakat hukum adat itu secara menyeluruh tidak hanya Osing, hukum itu sifatnya harus universal , “ ujarnya.
Demikian juga dengan Raperda Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren, menurut Sofi Kanwil Kemenkum HAM Jatim juga meminta untuk dikaji ulang karena dikhawatirkan ada beberapa klausul yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Kemenag).
“Tetapi kita konsen Raperda Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren ini diapresiasi oleh Kemenkum HAM Kanwil Jatim karena ada inisiasi dari DPRD Banyuwangi untuk bagaimana kemudian memberikan fasilitasi yang optimal terhadap adanya pesantren di Banyuwangi. Termasuk tiga fungsi pesatren sesuai dengan UU pesantren, yakni Pendidikan,dakwah dan pemberdayaan,” jelas wakil rakyat asal Desa Benculuk tersebut.
Lebih lanjut Sofi menambahkan bahwa saat ini ada 2 (dua) raperda inisiatif DPRD Kabuaten Banyuwangi yang sudah siap untuk dibahas dan telah memenuhi ketentuan Perundang-undangan yakni Raperda Pengarusutamaan Gender dan Raperda Tentang Perlindungan Dan Pengembangan Produk Unggulan Desa.