Banyuwangi, seblang.com – Sebelum memasuki bulan Ramadhan, masyarakat lingkungan Cungking, Kelurahan Mojopanggung, Kecamatan Giri Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur masih kuat dalam menjaga memelihara dan melestarikan warisan tradisi leluhur.
Salah satunya secara rutin menggelar Tradisi Resik Lawon setiap bulan Sya’ban pada Minggu (25/03/2024).
Tradisi Resik Lawon ini rutin dilaksanakan oleh warga setempat dengan membersihkan kain penutup petilasan Ki Buyut Cungking, yakni Ki Wongso Karyo dengan jumlah kisaran 26 lembar kain dengan masing-masing kain tersebut disebut; langit-langit (2 lembar), tadong (2 lembar), selambu dalam (4 lembar), maesan (4 lembar), luar langit-langit (2 lembar) selambu (4 lembar), slerekan (2 lembar), tadong luar (2 lembar), soko (4 lembar).
Tradisi Resik Lawon merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti membersihkan kain mori atau kain kafan. Ritual Resik Lawon ini diikuti para keturunan dari Buyut Cungking dan warga sekitar.
Juru pelihara petilasan Buyut Cungking, Jam’i menuturkan, konon ritual yang sudah dilakukan selama ratusan tahun secara turun temurun itu digelar mendekati bulan Ramadhan untuk membersihkan diri.
“Tradisi rutin ini kami lakukan bersama-sama warga lingkungan Cungking. Yang dilakukan warga yaitu membersihkan kain penutup petilasan berupa Lawon atau kafan,” ungkap Jam’i.
Selanjutnya Jam’i menceritakan, sejak pagi masyarakat yang mengikuti ritual tersebut membersihkan petilasan Ki Buyut Cungking dari debu dan kotoran.
Kemudian, kain putih yang menutup cungkup makam dan kelambu yang ada di sekitarnya dilepas dan dilipat dan dimasukkan kedalam besek besar untuk dicuci di Dam Krambatan, Banyu Gulung.
Setelah kain lawon dicuci hingga bersih, warga kembali membawanya ke Balai Tajuk yang ada di lingkungan Cungking untuk di peras dan airnya ditaruh pada wadah yang disediakan.
“Kain lawon ini dijemur di jalan lingkungan Cungking dengan menggunakan tali tambang diikat dengan bambu tinggi empat meter. Ini merupakan puncak dari ritual resik lawon, sebelum kain-kain putih itu nantinya kembali di pasang di petilasan,” imbuh Jam’i.
Prosesi ritual ini keseluruhan dilakukan oleh laki-laki, sedangkan para perempuan menyiapkan hidangan makanan untuk disajikan kepada tamu-tamu yang datang ke Balai Tajuk.
Sewaktu menjemur kain putih itu tidak boleh jatuh dan terkena tanah. Hal ini karena dipercaya akan berimbas kepada kondisi tertentu.
Untuk kain lawon yang sudah rusak, langsung diganti yang baru. Kemudian dipasang kembali sebagai kelambu di pondok petilasan Ki Buyut Cungking di lingkungan pemakaman Lingkungan Cungking./////