Madiun, seblang.com – Dengan adanya UU. Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang berfokus pada Keadilan Restoratif dan Diversi yang menekankan pada ‘pemulihan’ ketimbang ‘pembalasan’ seperti penerapan pada hukum pidana orang dewasa.
Erlyn Widhiana, ST., Pembimbing Kemasyarakatan Muda pada Bapas Kelas II Madiun menjelaskan, pembuatan Undang-undang ini diharapkan dapat mengubah stigma masyarakat yang memandang anak sebagai ‘kriminal’, membuat masyarakat sadar bahwa anak masih dalam masa pengembangan diri, dan karenanya mereka pun belum dapat mempertanggung jawabkan perilakunya secara penuh.
“Pengajaran dari orang tua dan lingkungan sekitar memiliki peran besar dalam pembentukan perilaku anak tersebut,” jelas Erlyn.
Menurut Erlyn, peran PK sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa tugas pembimbing kemasyarakatan adalah membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara anak, baik di dalam maupun di luar sidang, termasuk di dalam LPAS dan LPKA.
Pasal 1 ayat 3 menjelaskan bahwa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) adalah anak berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dengan kata lain umur 12 tahun menjadi ambang batas anak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya, walaupun tidak secara penuh seperti halnya orang dewasa. Untuk anak yang berada di bawah 12 tahun tidak dapat dikenai pidana, namun hanya dapat diberikan tindakan sesuai dengan pasal 21 ayat 1.
Pembimbing kemasyarakatan (PK) mempunyai peranan yang sangat strategis dalam penanganan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), hal ini terjadi karena pembimbing kemasyarakatan mempunyai 3 (tiga) peranan yang melekat dalam mata rantai proses penegakan hukum yaitu : 1. Pra Ajudikasi. Pra ajudikasi merupakan suatu tahap pada saat dimulainya proses penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) oleh kepolisian.
Dalam tahap ini pembimbing kemasyarakatan melaksanakan tugasnya untuk mendampingi anak selama dalam proses penyidikan dan kemudian membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan (litmas) atas pemintaan pihak penyidik kepolisian. Hasil laporan penelitian kemasyarakatan tersebut nantinya juga bermanfaat untuk membantu jaksa dalam membuat tuntutan dan membantu hakim dalam membuat putusan terhadap anak pelaku tersebut.
Apa sebenarnya Litmas atau Case Study itu tiada lain untuk menentukan diagnosa, atau assesment maupun untuk penentuan terapi, langkah-langkah apa setelah ada litmas sebagai hasil penelitian masalah sosial yang dihadapi klien, dan strategi tugas yang bagaimana, serta model-model dan Anak didik. Juga bermanfaat dalam pelaksanaan proses pemberian bantuan, atau dapat dikatakan sebagai proses intervensi, ikut campur dalam pemecahan masalah dan berguna untuk evaluasi. Pada tahapan ini PK wajib memberikan bantuan hukum dan melakukan proses mediasi.
Di setiap tingkat pemeriksaan (Kepolisian/Kejaksaan) dengan disertai laporan hasil penelitian kemasyarakatan (pasal 23 ayat (1), pasal 27 ayat (1), pasal 28 UU No.11 Tahun 2012). PK melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan selama proses diversi sampai dengan kesepakatan diversi dilaksanakan.
Kedua Ajudikasi. Setelah laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) selesai dibuat, maka akan diserahkan kepada pihak penyidik dari kepolisian yang selanjutnya akan diberkaskan guna dilimpahkan kepada Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri.
Dalam setiap proses sidang di pengadilan, anak pelaku atau klien anak wajib didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan (PK), sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi : “Dalam sidang Anak, Hakim wajib memerintahkan orang tua/Wali atau pendamping, Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya, dan Pembimbing Kemasyarakatan untuk mendampingi Anak”.
“Adapun pelaksanaan sidang Anak bisa batal demi hukum jika tidak ada Pembimbing Kemasyarakatan yang mendampingi anak selama proses sidang berlangsung,” terang Erlyn.
Ketiga, lanjut Erlyn adalah Post Ajudikasi. Menurutnya apabila anak pelaku telah dijatuhi putusan atau vonis oleh hakim, maka pembimbing kemasyarakatan masih mempunyai tugas untuk membimbing, membantu, dan mengawasi anak tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 65 huruf d dan e Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi :
“d. melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan dan melakukan pendampingan, pembimbingan; dan e. pengawasan terhadap Anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.” Dari segi penanganan kasus ABH tentunya juga berbeda dengan penanganan kasus orang dewasa.
“Di sini diperlukan peran serta APH, masyarakat, juga lembaga-lembaga terkait seperti Advokat, Balai Pemasyarakatan (BAPAS), Pekerja Sosial Profesional (Peksos), Tenaga Kerja Sosial (TKS), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sehingga penanganan kasus anak berhadapan dengan hukum merupakan tanggungjawab semua pihak demi tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi anak dan keluarganya,” pungkas Erlyn Widiana ST.
Wartawan : Hari Purnomo