Banyuwangi, seblang.com – Dewan Pers bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar workshop bertajuk “Peran Pers dalam Pencegahan Paham Radikalisme dan Terorisme untuk Mewujudkan Indonesia Harmoni” di Banyuwangi, Rabu (8/5/2024).
Workshop yang dibuka Ketua Dewan Pers DR. Ninik Rahayu melalui sambungan zoom ini diikuti oleh puluhan jurnalis dari berbagai media, baik media online, radio, cetak, dan televisi di Bumi Blambangan.
Menurutnya, workshop ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kapasitas insan pers yang profesional dalam memberikan liputan berimbang dan mendukung upaya deradikalisasi di tengah masyarakat.
Media massa yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini publik dari informasi yang disajikan, sangatlah penting bagi jurnalis dalam memahami isu radikalisme dan terorisme secara komprehensif.
“Pers memiliki peran sentral dalam mencegah penyebaran paham radikal dan narasi-narasi intoleran yang dapat memicu aksi terorisme. Dengan pemahaman yang baik, jurnalis dapat menyajikan liputan yang akurat, berimbang, dan dapat meredam konflik di masyarakat,” kata Ninik

“Kami berharap, setelah mengikuti workshop ini, para jurnalis dapat menjadi agen perdamaian yang menyebarkan nilai-nilai toleransi dan kerukunan melalui karya-karyanya. Hal ini untuk mendukung pemerintah dalam upaya pencegahan paham radikalisme dan terorisme untuk mewujudkan Indonesia harmoni,” imbuhnya.
Yosep Adi Prasetyo Ketua Dewan Pers periode 2016-2019 yang menjadi salah satu narasumber membagikan perspektif dan praktik terbaik dalam menyajikan berita terkait isu tersebut secara bertanggung jawab dan berimbang.
“Media harus berhati-hati agar tidak menjadi corong bagi teroris dalam menyampaikan pesan-pesan ketakutan kepada khalayak luas,” tegas Yosep yang akrab disapa Stanley dalam workshop tersebut.
Dia mengingatkan bahwa teroris sering memanfaatkan media baik secara aktif maupun pasif untuk menyebarkan narasi dan agenda mereka. Secara aktif, mereka ingin menebar ketakutan, mempolarisasi opini publik, dan menarik anggota baru. Sedangkan secara pasif, mereka memanfaatkan media untuk berkomunikasi, mempelajari strategi aparat, serta mengidentifikasi target berikutnya.
“Jika tidak berhati-hati, media dapat terjebak menjadi alat bagi teroris untuk mencapai tujuan mereka,” imbau Stanley.
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh insan media untuk mengutamakan kehati-hatian, keberimbangan, dan tanggung jawab dalam memberitakan aksi dan narasi teroris. Media hendaknya tidak terjebak menyebarkan ketakutan berlebihan atau bahkan mempromosikan paham radikal.
“Jurnalisme profesional harus mampu menyajikan informasi dengan lengkap dan berimbang, tanpa justru menjadi corong bagi kelompok-kelompok intoleran,” tegas Stanley.
Hendrayana, Tenaga Ahli Dewan Pers yang juga menjadi narasumber dalam workshop tersebut menekankan peran strategis pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme.
Ia mengingatkan agar peran media dalam pemberitaan terorisme tidak menimbulkan ekses negatif bagi pemirsa atau pembaca, serta mencegah lahirnya teroris baru yang terinspirasi dari pemberitaan tersebut.
Meski dihadapkan pada kompetisi dan tuntutan kecepatan, Hendrayana menegaskan media harus tetap berpedoman pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan moral dalam publikasi.
“Wartawan harus menjalankan tugas jurnalistiknya berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, dengan tujuan memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan profesi,” jelasnya.
Hendrayana menambahkan, Dewan Pers memiliki peranan penting dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh insan pers. Fungsi tersebut harus benar-benar dilaksanakan dengan baik agar pers di Indonesia dapat melaksanakan tugasnya dengan seimbang dan bertanggung jawab.