Banyuwangi, seblang.com – Masyarakat Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi, Minggu (31/07/2022) pagi, tumpah ruah di sepanjang jalan desa. Mereka bersama – sama melaksanakan ritual adat Keboan.
Ritual tersebut merupakan bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat setempat atas hasil yang melimpah, sekaligus bersih desa atau selamatan desa. Harapannya agar seluruh warga dijauhkan dari segala marabahaya, serta senantiasa berada dalam lindungan-NYA.
Berhiaskan ‘Poro Bungkil‘, gapura terbuat dari bambu penuh dengan janur kuning dan tanaman hasil panen yang didirikan warga di sejumlah titik, bak desa yang kaya akan hasil tanaman yang melimpah.
Unsur mistis ritual pun sangat terasa, dengan adanya bau kemenyan dan wangi – wangian, serta keberadaan sejumlah kubangan berisikan air lumpur, tempat mandi para manusia kerbau jadi – jadian yang kesurupan di sudut – sudut kampung.
Sebelum ritual dilaksanakan, masyarakat menggelar kenduri, do’a bersama di halaman rumah. Mereka berjajar membawa ancak berisikan ‘Pecel Petek’ menu khas Banyuwangi. Dipimpin tokoh adat setempat, do’a bersama dipanjatkan untuk keselamatan, keberkahan seluruh warga Desa Aliyan.
Tak lama kemudian usai doa dipanjatkan, beberapa warga Desa Aliyan mendadak kesurupan massal. Satu persatu warga yang kesurupan oleh tokoh adat diarahkan ke area pusat dilaksanakannya ritual dan menandainya dengan seikat tali kain untuk mengikat tubuh warga yang kesurupan.
Warga yang kerasukan roh leluhur ini disebut ‘Keboan’ atau kerbau jadi – jadian, karena kerbau manjadi simbol hewan yang mewakili. Karena di jaman dahulu kerbau yang selalu membantu petani untuk memproses sawah mulai dari membajak hingga mengangkut hasil panen.
Jalanya prosesi semakin meriah saat kerbau jadi – jadian itu di arak mengelilingi kampung diiringi gamelan khas Keboan yang terdiri dari 4 jenis alat gamelan, diantaranya kenong , gong, kendang dan kecrek. Selain itu iring – iringan juga dimeriahkan kesenian khas Banyuwangi.
Seperti kesenian kuntulan, penari gandrung dan visualisasi Dewi Sri, lengkap dengan kereta kencananya yang juga dipenuhi hiasan hasil bumi, seperti padi dan palawija. Dewi Sri dianggap sebagai sosok dewi kesuburan oleh warga setempat. Diaraknya Kerbau jadi – jadian ini menurut warga disebut sebagai prosesi Ider Bumi.
Bersorak dan bergembira, seluruh warga berjalan mengikuti iring – iringan prosesi Ider Bumi, mereka sesekali bersenda gurau dengan para kerbau yang kesurupan.
Anehnya, rasa takut masyarakat ke warga yang kesurupan itu tidak nampak sama sekali, malahan mereka beriring – iringan, berdekatan sembari menyiramkan air bersih untuk membersihkan lumpur yang mengotori wajah warga yang kesurupan.
Ritual diakhiri dengan prosesi membajak sawah, ritual ini divisualisasikan oleh dua manusia kerbau yang membawa alat pembajak sawah atau singkal, yang dilanjut dengan prosesi ‘Ngurit’ atau menebar benih padi oleh salah satu warga yang memerankan tokoh Dewi Sri.
Tradisi yang digelar warga secara rutin turun – temurun ini menurut Anton Sujarwo SE, Kepala Desa Aliyan ke sejumlah media mengatakan, ritual ini digelar sejak desa Aliyan dilanda wabah Kresesk (Paceklik) pada beberapa abad lalu. Dengan adanya wabah yang melanda desa akhirnya Buyut Wongso Kenongo leluhur desa Aliyan, berdo’a memohon kepada Sang Maha Pencipta, agar dihindarkan dari wabah yang melanda.
Kemudian kedua anak Buyut Wongso Kenongo, Raden Pringgo dan Raden Pekik meminta petunjuk kepada Sang Maha Pencipta, dan saat itu terjadilah perilaku aneh keduanya. Mereka bertingkah layaknya hewan kerbau, bergulung – gulung di area persawahan.
Beberapa waktu kemudian, dari hasil petunjuk tersebut perkembangan pertanian masyarakat nampak adanya peningkatan, karena wabah Kresek yang melanda desa, sirna. Sehingga masyarakatpun bisa kembali menggarap sawah dan mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah. Dari perilaku kedua anak Buyut Wongso Kenongo itulah hingga kini ritual ini dikenal masyarakat Desa Aliyan sebagai Ritual Adat Keboan.
“Ini adat budaya warisan leluhur yang harus terus kita lestarikan,” terang Anton Sujarwo SE. ////