Siapa Bilang Muhammadiyah Tenang-tenang Saja?

by -25 Views
Writer: Hei
Editor: Herry W. Sulaksono
iklan aston
iklan aston iklan aston

Opini 

Oleh : Anwar Hudijono





Gambaran masyarakat tentang Muhammadiyah itu sebagai organisasi yang sangat tenang, adem ayem, tidak ada gejolak konflik. Tak pernah terdengar sesama tokohnya saling menghujat, membuka aib, apalagi sampai pecat-pecatan, tanding-tandingan.

Gambaran itu sepenuhnya benar jika hanya melihat yang tampak di permukaan. Tapi kalau melihat arus dalam, sebenarnya gejolaknya cukup keras. Jadi ibarat sungai, arus atasnya tenang tetapi arus dalamnya bergelombang.

Anwar Hudijono, jurnalis senior dalam bukunya “Betapa Tuhan Sayang Muhammadiyah Tapi….” Terbitan UMMPress Januari 2025, mengungkap dengan blak-blakan gelombang arus dalam itu.

Ia mencontohkan, konfik politik menjelang Pilpres 2014. Aspirasi politik di kalangan warga Muhammadiyah terbelah jadi dua. Satu kelompok yang dimotori Prof Amien Rais mendukung Capres Prabowo Subianto. Satu kelompok lagi yang dimotori Prof Malik Fadjar mendukung Jokowi.

Polarisasi ini memantik konfik yang sangat keras sampai di tingkat akar rumput. Hal serupa berulang di Pilpres 2019.

Pada Pilpres 2024 walau tidak sekeras sebelumnya tetapi konflik juga terjadi. Arus dukungan mengalir ke tiga capres yang ada, Prabowo, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.

Konflik-konflik itu tidak sampai berdampak pada keretakan organisasi. Anwar Hudijono melihat salah satu faktor yang meredusir konflik itu adalah kepemimpinan KH Haedar Nashir yang teguh menjaga khittah Muhammadiyah. Yaitu Muhammaadiyah tidak masuk ranah politik praktis. Tidak terlibat politik dukung mendukung. Ia mengibvaratkan Haedar itu pohon ara di tengah prahara.

Kalau saja Haedar sebagai Ketua Umum PP bersikap miyar-miyur, kanan kiri oke, apalagi menjadikan Muhammadiyah sebagai kuda tungganan calon tertentu, bisa jadi Muhammadiyah sudah pecah berantakan.

Kalau toh secara kelembagaan formal tidak terpecah, tetapi secara substansial retak. Ketika organisasi kehilangan sebagian khittahnya berarti secara sudan batal.

Secara khusus Anwar Hudijono menyorot eksistensi Haedar Nashir ini sebagai bagian dari indikator betapa Tuhan sayang kepada Muhammadiyah. Sayang Tuhan itu dIrealisasi dengan memberi pemimpin yang baik pas dengan kebutuhan dan momentumnya.

Tesis ini merupakan mafhum mukhalafah (kebalikan) dari tesis yang didasarkan Hadits bahwa jika Allah menghukum suatu masyarakat akan diberi pemimpin yang buruk.

Kemunculan Haedar pada momentumnya. Saat dia muncul Muhammadiyah mengalami politisasi yang sangat dahsyat akibat Ketua Umum sebelumnya Dien Syamsuddin, langsung atau tidak langsung, memanfaatkan euforia politik warga Muhammadiyah menjadi kendaraan politiknya. Termasuk mendirikan Partai Matahari Bangsa.

Euforia ini terjadi sejak Ketua Umum PP Muhammadiyah Amiem Rais menjadi lokomotif reformasi menumbangkan Presiden Soeharto tahun 1998. Kemudian mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Umat Muhammadiyah yang sudah lama apatis dalam politik, termarginsalisasI, tiba-tiba seperti air bendungan yang jebol.

Di sini Tuhan mengulurkan tangan-Nya menolong Muhammadiyah agar tidak terseret arus deras politik yang banyak madlaratnya. Agar tidak terkooptasi PAN. Tidak dijadikan instrument transaksional.

Rasa sayang Tuhan, blessing indisguise, itu ditakdirkan dengan keputusan Amin Rais yang mundur dari Ketua Umum PP Muhammadiyah karena memilih menjadi Ketua Umum PAN. Padahal kalau saat itu Amien merangkap jabatan sangat mungkin terjadi karena saat itu dia sangat kuat. Tuhan mengizinkan Buya Syafii Ma’arif menggantikan Amien kemudian terpilih lagi di Muktamar.

Kemunculan Buya pada momentum yang tepat. Dia itu ibarat tembok karang yang tetap tegak kokoh di tegah gempuran gelombang. Dia bisa mengendalikan arus euforia warganya. Menyelamatkan Muhammadiyah dari kooptasi politik.

Anwar Hudijono, wartawan Kompas 1984-2012 dan Premimpin Redaksi Surya 2003-2004 ini, mengungkap, di samping campur tangan Tuhan, gelombang konflik tidak membuat Muhammadiyah terpecah-pecah juga karena pengaruh kultur Jawa yang sangat kuat. Bukankah Muhammadiyah lahir di Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat kultur Jawa.

Pada dasarnya, menurut dia, kultur Jawa itu antikonflik. Cenderung mengutamakan harmonisasi. Maka diekspresiikan memilih diam, menahan diri, ngalah demi menghindari konflik.

Selai itu, para pendulu Muhammadiyah mewaruskan asketisme, ketarekatan. Misalnya akan menghidari kegaduhan, kehingar-bingaran yang tak perlu. Istilah tokoh Muhammadiyah tahun 1980-an Drs Lukman Harun, pantangan di Muhammadiyah itu lepas kolor di depan khalayak.

Pertanyaannya adalah apakah generasi penerus masih mewarisi nilai-nilai pedulunya?(*)

iklan warung gazebo