Gunung Ijen selama ini identik dengan Kabupaten Banyuwangi. Apalagi sejak pariwisata digalakkan oleh mantan Bupati Azwar Anas. Banyak wisatawan baik lokal, national maupun internasional telah mengunjunginya. Baik yang ingin menyaksikan blue fire atau sekadar melancong. Event balap sepeda internasional puncaknya juga di Ijen (sayang sudah 2 tahun kegiatan ini terhenti akibat pandemi).
Untuk mencapai Ijen bisa dari dua arah. Lewat Bondowoso atau lewatBanyuwangi. Lewat Bondowoso melalui Kawah Wurung yang sangat instagramable. Dan jalannya berkelak-kelok melalui perkebunan. Orang lebuh suka lewat Banyuwangi. Lagi pula dalam peta buatan Belanda Ijen adalah milik Kabupaten Banyuwangi.
Namun beberapa waktu lalu Bupati Banyuwangi sekarang Ipuk Fiestiandani, yang tak lain istri mantan bupati Azwar Anas telah menandatangani kesepakatan dengan pemerinrah Bondowoso. Isinya , intinya menyerahkan 1/3 bagian kepada Bondowoso.
Walau tanda tangan dalam surat itu telah dicabut beberapa saat sesudahnya, tapi kemarahan masyarakat Banyuwangi masih terasa hingga kini. Berbagai kelompok masyarakat, LSM, mahasiswa dan elemen lainnya melakukan protes. Mengapa Ipuk begitu mudahnya menyerahkan sebagian itu dengan Cuma-Cuma. Lagi pula tidak ada persetujuan atau restu dari masyarakat maupun wakil rakyat.
Terakhir, demi mengembalikan keutuha kawasan Gunung Ijen lima orang yang tergabung ke dalam Kaukus Advokat Muda Indonesia (KAMI) mendaftar gugatan ke Pengadilan Negeri Banyuwangi. Lima pengacara muda itu menggugat Bupati Ipuk yang secara cuma-cuma melepaskan 1/3 kawasan gunung Ijen kepada Kabupaten Bondowoso dengan menandatangani Berita Acara Kesepakatan No: 35/BAD.II/VI/2021, tertanggal 3 Juni 2021 tentang batas wilayah Kabupaten Banyuwangi dengan Kabupaten Bondowoso subsegmen Kawah Ijen.
Jika dalam perkara sebelumnya, Tim KAMI menuntut pembatalan Berita Acara Kesepakatan, namun kini materinya lebih fokus pada pengungkapan seputar tindakan Abuse Of Power atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Bupati Ipuk Fiestiandani serta hal-hal krusial lainnya.
Masalah mendasar dari perkara ini bukan masalah ekonomi atau pariwisata. Tetapi harga diri yang merasa diinjak-injak seenaknya. Toh wisatawan (jika pendemi sudah berlalu) akan tetap lewat Banyuwangi yang lebih babaik infrastrukturnya. Tetapi yang paling krusial adalah masalah harga diri. Jati diri sebagai wong Banyuwangi.
Seyogyanya daripada masalah ini berlarut-larut yang pada akhirnya merugikan masyarakat Banyuwangi, Bupati Ipuk segeralah melakukan dialog terbuka dengan rakyat Banyuwangi. Marilah mencari solusi bersama-sama agar masalah ini tidak melebar kemana-mana. Apalagi sampai terjadi penghentian arus wisatawan ke Ijen atau menyetop wisatawan ke Ijen lewat Bondowoso.
“Heroisme dan rohnya leluhur masyarakat Banyuwangi sudah jelas terintegrasi dalam lirik lagu Umbul-umbul Blambangan. Di antaranya adalah, sopo bain hang arep nyacak ngerusak, bakal sun belani, sun adepi lan sun labuhi (Siapa saja yang akan merusak, akan saya bela, saya hadapi dan saya lawan, red.). Oleh karenanya jika ada orang yang merasa sebagai bagian dari Banyuwangi, lantas hanya diam berpangku tangan seraya membiarkan terlepasnya 1/3 kawasan gunung Ijen ke Bondowoso, maka lebih baik mulai sekarang berhentilah mengaku sebagai orang Banyuwangi,” demikian kata Denny Sun’anuddin, seorang aktivis muda Banyuwangi. (..)