Jakarta, seblang.com – Sejak berdirinya Republik Indonesia, para Bapak Pendiri Bangsa memahami bahwa negara ini dibangun atas dasar keberagaman dan perbedaan. Pentingnya penanganan keberagaman dan intoleransi dianggap sebagai tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada organisasi atau kelompok dominan lainnya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Ketua DPP LDII Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Luar Negeri (HAL), Singgih Tris Sulistiyono, dan aktivis Hak Asasi Manusia, Asfinawati, dalam Diskusi Kelompok Fokus (FGD) Kebangsaan yang diselenggarakan DPP LDII di Jakarta pada Sabtu (23/12).
Singgih Tri Sulistiyono, yang juga Ketua DPW LDII Jawa Tengah, menjelaskan bahwa akar sejarah toleransi di Indonesia erat kaitannya dengan lahirnya bangsa ini dari kesepakatan tentang keberagaman.
“Aspirasi yang tercermin dalam ideologi nasional seperti Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, dan UUD 1945 mencerminkan visi bersama masyarakat Indonesia untuk membentuk bangsa yang bebas dari penindasan dan membangun masyarakat yang adil dan makmur,” ujar Singgih.
Namun menurut pandangan Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro itu, Indonesia modern menunjukkan tanda-tanda penurunan toleransi berdasarkan data indikator Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang menunjukkan bahwa toleransi memiliki angka terendah, yaitu 68,72 persen.
Konflik agama, kata dia, juga diidentifikasi sebagai salah satu konflik yang sulit dicari solusinya. Selain itu, berkurangnya kesadaran terhadap perbedaan menjadi tantangan mewujudkan toleransi.
“Kami menyoroti bagaimana isu-isu terkait SARA dieksploitasi untuk kepentingan Pemilu, tanpa memperhitungkan potensi perpecahan dan konflik,” tambahnya.
Singgih juga menekankan perlunya negara memfasilitasi kerja sama antara elemen-elemen sosial, termasuk kelompok keagamaan, “Tujuannya untuk mengatasi isu bersama sebagai komunitas bangsa, seperti kemiskinan, pendidikan, lingkungan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi,” tambahnya.
LDII juga menyoroti peran penting negara dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kehidupan bersama masyarakat dan bangsa. Peringatan diberikan agar tidak menyerahkan sepenuhnya wewenang mengatur dan menegakkan toleransi kepada lembaga swasta atau ormas tertentu, karena rawan dengan kepentingan.
“Sebaliknya, ormas diharapkan berperan dalam membina literasi dan aksi toleransi di antara anggotanya, menghindari penilaian saling lembaga yang dapat berujung pada konflik horizontal,” pungkasnya.
Sementara itu, aktivis Advokat Hak Asasi Manusia (HAM), Asfinawati, menekankan pentingnya toleransi untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang plural. Ia menyatakan bahwa negara harus mendukung lingkungan keberagamaan yang inklusif.
Mengacu pada Pasal 28 dan 29 UUD 1945, yang berkaitan dengan hak sipil dan politik, Asfinawati menyoroti bahwa kebebasan beragama adalah hak asasi manusia yang berasal dari dalam diri individu. Oleh karena itu, kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama ini tidak boleh dicampuri oleh negara.
“Jadi dalam kacamata hukum internasional, agama tidak bisa dipisahkan dari pikiran yang ada di dalam diri dan hati nurani manusia. Karena itu tidak bisa dipaksa,” ungkapnya.
Asfinawati menyebut sebuah riset di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa negara manapun, dengan agama atau kepercayaan apapun, bisa menjaga toleransi. Intoleransi dapat dijaga dan tidak merugikan orang lain, asalkan negara dapat menjaga kebebasan beragama dan kepercayaan.
Jika negara memiliki agama resmi, negara tersebut tidak boleh mendiskriminasi. Kalaupun terdapat agama tertentu yang dianut sebuah negara , baginya itu tidak masalah. Asalkan negara tersebut tidak mendiskriminasi, membedakan agama-agama lain, atau kepercayaan yang lain.
“Karena itu menurut saya HAM adalah jalan tengah, atau dokumen perdamaian,” ujarnya.
Asfinawati menjelaskan dokumen perdamaian adalah ketika semua orang diberikan haknya. Dengan harapan ketika sebuah kepercayaan atau agama berkuasa di suatu negara, tidak ada upaya balas dendam atau orang tidak berlomba-lomba memegang kekuasaan di negara itu, karena sebelumnya dia merasa pernah didiskriminasi.
Asfinawati juga menjelaskan bahwa ada dua definisi toleransi, yaitu toleransi yang tidak melanggar hukum dan toleransi yang melanggar hukum. Dia mencontohkan bahwa dalam ilmu sosial, jika seseorang tidak suka jika ada yang berbeda agama di sekitar rumahnya, itu dapat dikategorikan sebagai intoleran. Namun, pada titik tertentu, negara tidak boleh diam dan harus mendorong toleransi.
Menurutnya, banyak sudut pandang filosofis mengenai hak asasi manusia, salah satunya adalah hukum kodrat. Karena hukum kodrat berasal dari Tuhan, maka tidak mungkin bisa dicabut oleh manusia. “Jika orang dicabut hak-haknya, maka dia akan melawan. Ketika orang diberikan hak-haknya, justru manusia bisa hidup dalam perdamaian dan saling menghormati hak asasi yang lain,” ujarnya.
Terkait kehadiran negara, Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan Agung RI N. Rachmat mengungkapkan, untuk menguatkan ketertiban dan ketenteraman umum, dibentuklah Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakor Pakem) di bawah Kejaksaan. “Dengan pimpinan, Jaksa Agung RI, sekretaris dari Jamintel, dan perwakilan dari berbagai instansi, seperti Kemenag, TNI, Polri, dan lainnya,” ujarnya.
Bakor Pakem berwenang mengawasi dan mendeteksi dini aliran kepercayaan dan aliran keagamaan yang ada di masyarakat. Bakor Pakem juga menjadi wadah dan sharing, mengenai aliran kepercayaan dan aliran keagamaan, “Juga mencegah, infiltrasi, baik dari dalam, maupun luar negeri, yang berpotensi memecah anak bangsa,” pungkas N. Rachmat.