anyuwangi, seblang.com – Puluhan santri anak berkebutuhan khusus (ABK) Pondok Pesantren (Ponpes) KH. Ahmad Dahlan memulyakan bulan suci Ramadhan dengan menggelar tadarus Alquran Braile setiap sore di KH. Ahmad Dahlan, Kelurahan Tamanbaru, Banyuwangi.
Pelaksanaan tadarus Alquran umumnya menjadi salahsatu ibadah sunah yang dilakukan oleh semua umat Islam dalam bulan Ramadan. Umat muslim berlomba-lomba mencari pahala salah satunya dengan mengkhatamkan Alquran.
Upaya memperbanyak berbuat kebaikan bukan hanya mereka yang diberi anugerah tubuh sehat dan lengkap, tetapi juga kelompok yang menyandang ABK, antara lain; penyandang tuna netra di Banyuwangi.
Bagi penyandang tuna netra tentunya Alquran yang dibaca juga khusus dan berbeda dari yang biasa dibaca umat Islam pada umumnya. Mereka menggunakan Alquran Braile.
Menurut Pengasuh Ponpes ABK Ahmadiyah Dahlan, Banyuwangi Adfal Fadholi (60 ahun) saat ini di Ponpesnya tercatat ada 27 santri yang berkebutuhan khusus. Ada 3 santri tuna netra, anak hyperaktif dan sisanya penyandang autis serta tuna grahita.
“Terkadang tuna netra dari sejumlah SLB di Banyuwangi ikut datang dan tadarusan di ponpes kami,” kata Afdal.
Namun hampir setiap hari tidak kurang dari 5 orang tuna netra yang ikut tadarusan di ponpes yang ada di kawasan Jalan Adi Sucipto Banyuwangi
Afdal menuturkan selama bulan Ramadhan, tadarus Al-quran Braile menjadi rutinitas yang dilakukan setiap sore. Hal tersebut dilakukan agar para santri tidak lupa maupun agar jemarinya tetap terlatih untuk peka dalam meraba huruf-huruf braile.
Sebab, lanjut dia, pembacaan dengan metode Alquran Braile kini sudah mulai berganti menggunkan Alquran digital yang dipelajari via audio.
“Kalau tidak lagi dilakukan jari-jarinya jadi tidak peka nanti, sehingga khawatirnya nanti lupa ketika membaca lagi,” ujarnya.
Sebelum santri tuna netra belajar membaca, melatih kepekaan jari adalah langkah awal yang harus dilakukan. Baru setelahnya mengenal huruf dan mulai melafalkannya.
Pada titik itu, para pengajar harus benar-benar sabar dan telaten. Sebab setiap santri berbeda-beda kemampuan daya serap maupun dalam memahaminya. Ada sebagian yang cepat, namun ada pula yang lambat.
“Kadang ada yang kurang peka jarinya sehingga agak lambat dalam memahami,” ujar pria yang sudah berpengalaman mengajar ABK sejak tahun 1984 tersebut.
Sementara itu salah seorang peserta tadarus yang juga Qori, Eko Prasetyo (27 Tahun) mengaku sudah belajar Alquran braile sejak umur 14 tahun.
Kini dalam usianya yang ke 27 Eko sudah fasih dan mahir membaca Alquran Braile. Bahkan beberapa waktu lalu dia menjadi juara 1 lomba MTQ tingkat Provinsi Jawa Timur (Jatim). “Konsisten belajar, saat ini sudah tidak ada kesulitan saat membacanya,” kata Eko./////