Fasilitasi Pengembangan Komunitas Kreatif Dalam Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa oleh

by -870 Views

Oleh : Berlian Anugrahini K, SE. MM dan Sutardjo

Kreativitas adalah motor pendorong perubahan, terkait agenda pengembangan kreativitas masyarakat desa di Indonesia, maka peranan komunitas kreatif sangat mempengaruhi perkembangan atau penguatan daya kreativitas, komunitas kreatif mempunyai peranan sentral dalam perkembangan dan pembentukan kompetensi dalam membangun kreativitas diberbagai bidang dan bagian dari sistem sosial yang lebih luas. Sebagai bagian dari sistem sosial, pertanyaan sentral yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: sub-sub sistem sosial apa saja yang membangun kreativitas? Bagaimana sub-subsistem ini berkaitan atau bersinergi satu sama lainnya, sehingga secara bersama dan melingkupi mendorong bagi tumbuhnya kreativitas dan ide-ide kreatif di sebuah kelompok, komunitas bahkan masyarakat desa? Dengan demikian, juga dapat dipertanyakan, apakah kuat atau lemahnya daya kreativitas berbanding lurus peran pemerintah desa atau komunitas kreatif.

Komunitas Kreatif menciptakan ruang nyaman melalui suasana kreatif dan informal, di mana setiap orang merasa mampu untuk bersuara, menyampaikan aspirasi, harapan kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini kurang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ruang yang dibangun melalui fasiltasi kader-kader desa atau Pendamping Desa, membangun kepercayaan masyarakat bahwa aspirasinya berharga, sehingga berani menyampaikan ide, gagasan, prakarsa, sehingga membangun kekuatan kolektif menjadi gerakan masyarakat desa, sehingga pada akhirnya partisipasi yang dibangun bukan lagi bersifat mobilasi tetapi “Active Citizen”, sebagai sebuah partisipasi kesadaran.

Ekspresi Kreatif Komunitas Kreatif Untuk Desa Yang Inklusif

Dalam praksis pemberdayaan, ada kenyataan baru, bahwa stigma negatif disandang seseorang atau kelompok karena status sebagai penyandang disabilitas,  anak narapida politik atau eks tapol, status sebagai ras, dan etnis minoritas, usia, jenis kelamin, agama, tempat tinggal terisolasi secara geografis,  status sebagai penyandang kesakitan pengidap HIV-AIDS atau penyakit, dan lainnya.

Hal-hal tersebut seringkali menyebabkan seseorang dan kelompok masyarakat terdiskriminasi, termarginalisasi untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan serta dalam mendapatkan layanan dasar. Bahkan mereka terkucilkan dalam relasinya dengan masyarakat. Kondisi tersebut memicu ketidakberdayaan orang atau masyarakat dengan stigma tersebut sehingga berdampak kesulitan kehidupan yang dihadapi mereka dan jatuhlah pada lubang kemiskinan.

Pada sisi lain bercermin dari pengalaman program masa lalu, proses yang mekanistik dan berulang dalam siklus pembangunan desa, pada taraf tertentu di masyarakat dapat menciptakan kejenuhan dalam proses musyawarah atau pertemuan sehingga menyebabkan antusiasme masyarakat desa untuk berpartisipasi berkurang. Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya masukan-aspirasi dari masyarakat, terutama masyarakat miskin, perempuan, penyandang disabulitas, dan kelompok-kelompok marginal. Pada program-program sebelumnya dengan basis Community Driven development, partisipasi menjadi kunci keberhasilan, sehingga berbagai cara menyerukan upaya baru untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dan memastikan keterlibatan masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Hal ini bisa menjadi latar belakang perlunya melanjutkan pendekatan pengembangan Komunitas Kreatif yang telah diinisiasi oleh PSF. Belajar dari proses program Inisiatif Komunitas Kreatif I dan II,  banyak ditarik pembelajaran dari kegiatan-kegiatan masyarakat yang menggunakan pendekatan kreatif untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat.

Dalam mewujudkan Desa inklusi menurut Lilis Nurul Husna dari Bina Desa dapat dilakukan melalui tiga strategi yaitu :

  1. Mendekatkan kelompok marginal ke kelompok utama dengan mengurangi sekat yang membatasi mereka atas akses ikatan sosial, seperti hubungan sosial, lembaga sosial, dan identitas bersama. Pendekatan ini memerlukan kesediaan pihak marginal untuk berkompromi dengan norma yang berlaku secara umum
  2. Memperluas ruang penerimaan dan rekognisi sosial sehingga individu maupun kelompok marginal tetap berada dalam ikatan sosial yang mereka butuhkan. Pendekatan ini memerlukan kesediaan pihak mayoritas untuk mengakui kelompok minoritas tetap sebagai bagian dari mereka.
  3. Mendorong kebijakan pemerintah yang inklusif sehingga muncul kebijakan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang konsisten terhadap perlindungan dan penerimaan bagi semua warganya. Pendekatan ini memastikan tata kehidupan nirdiskriminasi diatur dalam kebijakan pemerintah.

Dalam hal Penyelenggaraan pelayanan publik di desa oleh pemerintah desa, pada saat kondisi saat ini masih ditemukan kerentanan akan praktik diskriminasi, khususnya menimpa pada kelompok difabel, miskin, minoritas, perempuan dan kelompok marginal lainnya. Meski piranti regulasi atas pelayanan publik cukup bagus, lemahnya penegakan hukum acapkali menjadi akar masalahnya. Kondisi itu diperparah dengan minimnya kemampuan aparat dalam melayani warga negara. Praktik diskriminasi dalam pelayanan publik berlangsung di semua tingkatan, baik pusat, daerah, maupun desa. Di tingkat desa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik dapat dibangun dengan membangun kontrol terhadap penyelenggraan layanan publik itu sendiri, sehingga senantiasa terjadi proses peningkatan kualitas melalui perbaikan tata layanan di desa

Padahal, pada regulasi prinsip nondiskriminasi baik terhadap suku, agama, ras, kepercayaan, antar golongan dan gender telah diadopsi menjadi prinsip dasar penyelenggaraan pelayanan publik. Undang-Undang No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan prinsip persamaan perlakuan/tidak diskriminatif menjadi nilai dasar penyelenggaraan pelayanan publik (Pasal 4 huruf g). Hal itu dikuatkan oleh UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah maupun UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Intinya, penyelenggaraan publik harus menghapus diskriminasi suku, agama, dan kepercayaan, ras, antar golongan dan gender.

Bentuk Fasilitasi Kreatif Komunitas Kreatif

Program Komunitas Kreatif  fokus pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam perencanaan desa melalui ekspresi kreatif kolektif, dengan metode fasilitasi yang menarik sehingga mudah bagi semua orang untuk bergabung. Melalui Proses Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment Process atau CEP), Pendekatan Insiatif Komunitas Kreatif dijalankan dengan  metodologi Teater untuk Pembangunan dan Video Partisipatif untuk membantu warga desa menyampaikan aspirasi dan masukan mereka terhadap perencanaan desa.

  1. Fasilitasi Perencanaan Desa melalui Pembuatan Video dan Pertunjukan Teater

Fasilitator melatih anggota masyarakat untuk menjadi Kader Pemberdayaan Komunitas Kreatif (KPK) sehingga mereka mampu untuk memberikan fasilitasi dan menstimulasi partisipasi aktif proses kreatif kelompok dalam membahas permasalahan yang dihadapi. Masyarakat kemudian secara kolektif menganalisa permasalahan dan menentukan aspirasinya, lalu mengekpresikannya dalam bentuk naskah teater maupun video pendek yang diproduksi sendiri. Hasilnya dipertontonkan di depan forum masyarakat dan pemerintah daerah, untuk nantinya digunakan sebagai dasar untuk membuat strategi penyelesaian masalah. Selain itu, Komunitas Kreatif juga memberikan hibah kepada individu maupun organisasi berbasis masyarakat yang menjalankan kegiatan kreatif yang selaras dengan tujuan program, antara lain Jatiwangi Art Foundation, Kuningan, Jawa Barat yang melalui kegiatan video telah berhasil dalam menyampaikan pesan kepada pemerintah desa dan PNPM Generasi mengenai pola hidup sehat bagi ibu hamil dan anak. Selain itu, Lite Institute di Bali juga menerima hibah dan mengajak masyarakat untuk mengetahui dan memahami Undangundang No. 6 Tentang Desa 2014 (UU Desa) melalui festival desa.

Masyarakat terlibat dalam lokakarya teater dan video. Melalui proses kreatif, masyarakat difasilitasi fasilitator/pendamping memetakan permasalahan dan kebutuhannya. Berdasarkan temuan tersebut, kemudian menyusun sebuah rancangan dalam bentuk naskah teater maupun video pendek dan mempresentasikan hal tersebut kepada khalayak luas untuk mendapatkan umpan balik. Adapun kegiatan yang dilakukan melalui Komunitas Kreatif dalam program Inisiatif Komunitas Kreatif anatara lain :

  1. NTB ( Pembuatan Video Partisipatif dan Pentas pertunjukan)
  2. Sulawesi Selatan ( Pertunjukan Teater untuk Pembangunan)
  3. Kalimantan Barat ( Pertunjukan Teater untuk Pembangunan, Pembuatan Video Partisipatif)
  4. Bali (Pertunjukan Teater untuk Pembangunan)
  5. NTT (Pembuatan Video Partisipatif)
  6. Jawa Barat (Pertunjukan Teater untuk Pembangunan, Pembuatan Video Partisipatif)

Fasilitasi Kegiatan Mural/Grafiti

Seni Mural adalah bentuk seni dengan cara menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen lainnya. Sedangkan grafiti hampir menyerupai mural tetapi lebih menekankan hanya pada isi tulisan dan kebanyakan dibuat dengan cat semprot. Berbeda dengan mural tidak demikian, mural lebih bebas dan dapat menggunakan media cat tembok atau cat kayu bahkan cat atau pewarna apapun juga seperti kapur tulis atau alat lain yang dapat menghasilkan gambar.

Mural dan Grafiti dalam kontek lain adalah salah satu instrumen komunikasi publik yang tidak dapat lepas dari dimensi kehidupan sosial maupun politik. Sebagai media yang berfungsi sebagai salah satu instrumen komunikasi publik yang sangat dekat dengan masyarakat, maka mural dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintah untuk meningkatkan kinerjanya. Melalui pemanfaatan seni mural dan grafiti, masyarakat lebih memahami pesan yang disampaikan dengan menggunakan proses berpikirnya agar dapat menangkap ide dari program tersebut dengan benar. Proses penangkapan pesan oleh masyarakat merupakan proses pengidentifikasian bentuk karya seni berdasarkan bayangan yang tersimpan dalam ingatannya yang didapatkan dari pengamatan sebelumnya. Semakin banyak bayangan dalam kesadaran maka pengamat semakin mudah dalam menangkap pesan. Apabila masyarakat dapat menangkap pesan tersebut dengan benar maka secara tidak langsung akan mempengaruhi pola pikir serta sikap sosialnya yang akan berimbas pada tingkah lakunya dalam bermasyarakat.

Gambar mural dan grafiti membangun kesadaran kolektif, terhadap permalahan-permasalahan yang dihadapi bersama, melalui proses kesadaran yang dibangun melalui gambar-gambar mural dan grafiti yang dibuat disetiap sudut yang disepakati di desa, menciptakan sebuah konsensus tindakan bersama.  Seperti yang dilakukan di Desa Jatipamor dan Desa Jatisura Kabupaten Majalengka, melalui fasilitasi komunitas kreatif Jatiwangi Art Factory dan Yayasan Ruang Rupa bekerjasama dengan pemerintahan desa, membuat kegiatan seni mural dan grafiti sebagai proses kreatif dalam membangun perencanaan pembangunan Desa.

Seni mural dan grafiti dapat digunakan sebagai alternatif media penyalur aspirasi publik karena tampilannya yang menarik dan komunikatif, sehingga dapat menyampaikan pesan yang terkandung dalam mural. Selain itu seni mural dan grafiti  bisa mempengaruhi komponen-komponen sikap sosial individu antara lain: komponen kognitif, komponen afektif, komponen konatif. Rekomendasi yang dapat diberikan dalam penulisan ini adalah pengoptimalan pemanfaatan seni mural sebagai media penyalur, karena mural bisa digunakan untuk memperlancar komunikasi publik, perlu adanya kepedulian dari masyarakat untuk memelihara dan melestarian seni mural sebagai media komunikasi publik yang efektif, pemerintah memfasilitasi pembuatan seni mural dan mengadakan kompetisi untuk mencari seniman-seniman mural yang berbakat dan berprestasi serta memberikan penghargaan untuk memotivasi para seniman mural, dan pemerintah menetapkan peraturan yang jelas tentang ijin pembuatan seni mural dan grafiti meningkatkan pengawasan masyarakat untuk meminimalisir terjadi penyalahgunaan dalam proses pembangunan desa.

Bentuk kreativitas yang banyak dilakukan oleh desa, dengan dukungan komunitas kreatif adalah memalui penyelenggaraan festival desa.  Gedhe Foundation bersama Komunitas-komunitas lokal seperti DeDeMIT Ciamis, DeDeMIT Lampung, RTIK Banyumas, Warso Cilacap, dll melalui Gerakan Desa Membangun mendorong platform Desa melalui pengarus utamaan isue desa, melalui kegiatan pengembangan Teknologi Internet dan Lokakarya Desa serta Festival Desa. Gerakan Desa Membangun melakukan gerakan sosial lingkar belajar desa yang bertujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan desa yang terbuka dan lebih baik. Untuk itu, beragam kegiatan belajar antar desa telah diadakan oleh jejaring Desa Membangun, untuk kegiatan skala besar biasanya bentuk kegiatannya berupa Festival Desa.

Festival Desa, terbukti mendorong semangat baru warga desa bersama pemerintahan desa dalam mendorong perkembangan pembangunan di desa. Bentuk-bentuk kegiatan yang lahir dari prakasrsa masyarakat desa dan pemerintah desa, pada dasarnya sudah ada sejak dari jaman dahulu dan jauh sebelum kemerdekaan negara ini, sebut saja Bersih Desa, Ruwat Desa, Sedekah Bumi, Sedekah Laut, festival-festival budaya Desa, merupakan kegiatan  yang dilaksanakan secara gotong royong antara masyarakat dan pemerintahan desanya. Semangat kegiatan ini mendorong dan mempertahankan sikap dan rasa kegotongroyongan tetap tumbuh di desa.

Festival Desa biasa dilakukan tahunan dengan mengedepankan isu-isu thematik desa, dengan tujuan untuk memperkenalkan kembali kehidupan desa, potensi desa, budaya desa, bahkan sebagai wujud syukur atas berkah yang diberikan Tuhan berupa panen raya, dll. Saat ini Festival Desa yang di fasilitasi komunitas kreatif berkembang lebih luas seiring perkembangan desa, Teknologi, dan berbagai tantangan ekonomi dan budaya yang dihadapi desa.

Beberapa bentuk Festival desa yang di fasilitasi Komunitas Kreatif dengan Gerakan Desa Membangun adalah sebagai berikut :

 

iklan warung gazebo