SPMB Bermasalah, TKA Pengganti UN Bisa Jadi Solusi

by -47 Views
Writer: Teguh Prayitno
Editor: Herry W. Sulaksono

OPINI

Oleh : Teguh Prayitno, Wartawan seblang.com

Sejak Ujian Nasional (UN) dihapus dan digantikan dengan sistem zonasi (yang kini berubah nama menjadi domisili) dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), atau sekarang disebut Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), banyak orang tua dan siswa merasa sistem ini justru menciptakan ketidakadilan baru. Slogan pemerataan yang digaungkan, pada praktiknya sering kali jauh dari kenyataan.

Salah satu kritik paling tajam terhadap sistem zonasi atau domisili adalah bagaimana prestasi akademik tidak lagi menjadi faktor utama. Banyak siswa dengan nilai tinggi gagal masuk ke sekolah negeri favorit hanya karena rumah mereka berada di luar zona yang ditentukan.

Sebaliknya, siswa dengan nilai biasa-biasa saja bisa diterima hanya karena rumahnya kebetulan dekat dengan sekolah. Ataupun mereka yang bermain numpang Kartu Keluarga ataupun yang tiba-tiba meminta keterangan domisili dari pemerintah desa/kelurahan setempat yang memiliki jarak terdekat dengan sekolah yang dituju.

Pemerintah memang membuka jalur prestasi sebagai alternatif. Baik prestasi akademik, non akademik hingga nilai raport. Namun sayangnya, jalur ini tidak lepas dari praktik manipulasi. Beberapa tahun terakhir, isu jual beli piagam penghargaan demi memenuhi syarat jalur prestasi santer terdengar di berbagai daerah. Akibatnya, siswa yang benar-benar berprestasi pun bisa tersingkir oleh mereka yang “membeli jalan” ke sekolah unggulan.

Di sinilah letak keunggulan UN. Meskipun sistemnya dulu dikritik karena menimbulkan tekanan dan bersifat satu arah, UN menawarkan satu hal penting: standar yang sama untuk semua. Setiap siswa, dari mana pun asalnya, punya peluang yang adil untuk menunjukkan kemampuannya secara objektif.

UN juga menjadi motivasi siswa untuk belajar lebih serius, karena hasil akhirnya menentukan masa depan pendidikan mereka. Tidak seperti sistem zonasi yang dalam beberapa kasus justru membuat siswa merasa “tidak perlu bersusah payah”, karena yang penting adalah domisili, bukan prestasi.

Tentu, UN juga tidak sempurna. Tapi jika dibandingkan dengan sistem zonasi yang kaku dan rawan manipulasi, UN masih memberikan rasa keadilan yang lebih nyata. Pendidikan seharusnya menjadi jalan meritokrasi, bukan permainan jarak atau piagam palsu.

Kabar baiknya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti resmi menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang diundangkan pada 3 Juni 2025.

Ini adalah kegiatan pengukuran capaian akademik murid pada mata pelajaran tertentu, pengganti ujian nasional (UN) yang sudah dihapus.

TKA dirancang untuk mengukur capaian akademik siswa secara objektif dengan standar nasional. Hasil TKA akan diberikan dalam bentuk nilai dan kategori capaian. Serta dilengkapi dengan sertifikat resmi bagi peserta dari jalur formal dan nonformal

Sertifikat tersebut dapat dimanfaatkan sebagai dasar seleksi prestasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di jenjang SMP ds SMA sederajat. Selain itu juga bisa menjadi salah satu pertimbangan dalam seleksi masuk perguruan tinggi.

TKA juga berfungsi mendukung penyetaraan hasil belajar bagi peserta dari jalur nonformal dan informal, menjadi referensi dalam proses seleksi akademik lainnya. Bisa juga digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai acuan dalam pengendalian dan penjaminan mutu pendidikan.

Meski baru dilaksanakan untuk kelas akhir SMA dan SMK pada tahun ini, pemerintah menargetkan perluasan cakupan TKA ke jenjang SD dan SMP mulai tahun depan.///////

iklan warung gazebo