Satu Tahun Pemerintahan Ipuk Fiestiandani – H. Sugirah Memimpin Banyuwangi dalam Penilaian Aktivis

by -1238 Views
Writer: Nurhadi
Editor: Herry W. Sulaksono
Bondan Madani, Ketua umum Lembaga Diskusi Kajian Sosial (LDKS) Pilar Jaringan Aspirasi Rakyat (PIJAR) Banyuwangi

Banyuwangi, seblang.com – Sabtu (26/02/2022) kemarin  genap satu tahun masa pemerintahan pasangan Bupati –  Wakil Bupati Ipuk Fiestiandani – H. Sugirah memimpin Banyuwangi. Banyak dinamika yang terjadi dalam jangka waktu satu tahun kepemimpinan istri Abdullah Azwar Anas ditahun pertama, khususnya soal kebijakan publik.

Dalam rilis yang dikirim pada Minggu (27/02/2022), Bondan Madani, Ketua umum Lembaga Diskusi Kajian Sosial (LDKS) Pilar Jaringan Aspirasi Rakyat (PIJAR) Banyuwangi menilai, sebagian besar tahun pertama Bupati Ipuk dihabiskan dalam situasi yang tidak normal karena pandemi Covid 19 yang muncul sebelum dirinya menjabat Bupati Banyuwangi.

“Beberapa bulan pertama kan habis waktunya untuk melakukan penataan birokrasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi untuk membantu melaksanakan roda pemerintahan, ” ujar Bondan.

Namun dalam kenyataan belum sempat melakukan penataan birokrasi, muncul kebijakan merumahkan 331 pegawai berstatus tenaga harian lepas (THL). Belum lagi suasana pandemi yang menghambat pemerintah untuk menjalankan program. Sehingga apabila yang mengevaluasi capaian pasangan Ipuk – H Sugirah konteksnya sebatas itu,” imbuhnya.

Dengan situasi dan  kondisi yang seperti lanjut Bondan menilai progam visi misi yang dijanjikan pasangan Ipuk – H Sugirah  tidak tercapai. Bahkan, dalam aspek-aspek lain, satu tahun pemerintahan Ipuk dinilainya tidak terlalu menonjol dan menuai sejumlah kontroversi.

Dia menuturkan salah satu kebijakan yang dinilai kontroversial adalah  ketika secara sepihak Bupati Ipuk  membagikan 1/3 wilayah Kawah Ijen kepada Pemkab Bondowoso. Pemberian secara sepihak icon kebanggaan Banyuwangi memicu banyak protes dari berbagai elemen karena dianggap tidak dilandasi dengan kajian dan dipikir secara matang dalam mengambil keputusan.

Hal tersebut diperparah dengan tidak adanya tindakan dari wakil rakyat yang ada di DPRD dalam menyikapi keputusan konyol orang nomor satu di Banyuwangi ini. Sempat muncul wacana pengajuan hak interpelasi dari dua fraksi dan dua anggota, namun wacana tersebut kandas ditengah jalan dan hanya menjadi cerita yang tidak pernah ada ujungnya.

Selanjutnya, Tokoh Muda asal Bakungan Kecamatan Glagah Bondan juga menyoroti lemahnya komunikasi politik Ipuk sebagai pemimpin dengan H Sugirah sebagai pendamping  maupun dengan pihak legislatif.

“Keputusan mengenai tapal batas wilayah Kawah Ijen disinyalir tanpa berkordinasi dengan dewan, bahkan H. Sugirah selaku wakil Bupati juga terkesan seperti tidak tahu menahu masalah itu. Berarti dari sini terlihat bahwa Bupati Banyuwangi kurang pandai melakukan komunikasi,” jelas dia.

Ditambah lagi dengan adanya kejadian Walk Out (WO)- nya tiga pimpinan dewan dalam sebuah acara yang digelar di pendapa semakin memperjelas ketidakmampuanBupati Ipuk dalam merajut komunikasi.

Bahkan banyak pihak yang beranggapan bahwa hal itu sengaja dilakukan karena ketiga pimpinan dewan tersebut adalah kader parpol yang dalam pelaksanaan pilkada merupakan rivalnya,’ lanjut Bondan.

Selanjutnya  dia menuturkan, proses yang baik itu setidaknya harus  membuka ruang partisipasi lebih luas, baik dengan elit politik maupun dengan para aktivis yang peduli dengan kemajuan Banyuwangi. Jika dalam prosesnya tidak memuat kedua unsur itu wajar apabila sebagian aktivis melakukan aksi protes.

salah satu faktor yang membuat pemerintahan Ipuk di tahun pertama ini berjalan kurang maksima, lanjut  Aktivis asal Kampung Atasangin  adalah terlalu banyak melakukan pencitraan, tidak menerima kritik dari elemen masyarakat dan tidak ada kekuatan oposisi di parlemen yang efektif untuk mengontrol kebijakan pemerintah.

“Di parlemen relatif enggak ada oposisi, sehingga pemerintah Ipuk Fiestiandani ini terlalu nyaman,” ujar Bondan.

Ke depan, dia meminta Bupati Ipuk harus bekerja maksimal bukan sekedar melakukan pencitraan, karena beban besar justru berada pada partai politik pendukung sebelum menghadapi pemilu serentak pada 2024 mendatang. Parpol pengusung dan  pendukung harus lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah agar tercipta sebuah “ketidaknyamanan”.

“Kalau jadi teman baik kan kadang-kadang harus memarahi teman sendiri. Terlalu nyaman itu tidak bagus dan realitas tersebut sistem yang kita miliki saat ini,” kata Bondan.

Apabila tidak bisa, maka kekuatan selanjutnya  civil society harus bergerak. Para pendukung pasangan Ipuk – H Sugirah pada saat pilkada semakin kritis, orang nomor satu di Banyuwangi pasti mikir,” tambahnya.

Alumni muda HMI tersebut juga mempertanyakan aktualisasi dari program pemerintahBanyuwangi Rebound “, yang dibangun di atas tiga pilar dan dua fondasi penting.

Tiga pilar tersebut meliputi tangguh pandemi, pulihkan ekonomi, dan merajut harmoni. Sedangkan pondasi yang menopangnya adalah pelayanan publik yang excellent dan partisipasi aktif publik.

“Kita semua berharap konsep Banyuwangi Rebound merupakan solusi, bukan hanya konsep untuk mendapatkan berbagai prestasi dan sekedar eksistensi. Namun masyarakat tidak merasakan efek apa-apa dari program yang dicanangkan oleh Bupati Banyuwangi, ” pungkas Bondan. //

iklan warung gazebo