Banyuwangi, seblang.com – Wakil Ketua Bidang Hukum/Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Daerah Muhammadiyah (LHKP PDM) Banyuwangi, Mufti Syafii, melihat ada beberapa kelemahan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
“Di antaranya ruang lingkup perencanaan yang tidak komprehensif, mekanisme pembentukan yang tidak demokratis, dan keterputusan pembangunan nasional,” kata Mufti.
Pernyataan tersebut disampaikan Mufti Syafii saat menjadi narasumber acara Penyerapan Aspirasi Masyarakat di Banyuwangi, Minggu (28/3/2021). Mufti hadir mendampingi anggota Badan Pengkajian MPR RI, Ir. Ahmad Rizki Sadig, M. Si. Sekitar 160 orang hadir dalam acara yang diselenggarakan di Gedung Pertemuan Pesona Osing, Gambiran, Genteng, Banyuwangi tersebut.
Mufti memaparkan, setelah reformasi, GBHN tidak dikenal lagi dalam UUD 1945. Sebagai gantinya, dikeluarkan UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Sampai saat ini masih banyak pro kontra terkait diberlakukannya SPPN sebagai pedoman pembangunan nasional. Mereka yang pro menganggap SPPN sudah menjawab tuntutan reformasi, demokrasi dan otonomi luas. Sementara yang kontra menginginkan GBHN dihidupkan kembali sebagai jaminan pembangunan yang berkelanjutan.
“Jika dicermati, perdebatan tersebut dikarenakan adanya perubahan model pemilihan presiden dan wakil presiden yang tadinya dilakukan oleh MPR, kemudian diubah menjadi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum,” papar Mufti.
Menurut Mufti, presiden terpilih akan menjalankan program pembangunan yang mengacu pada visi dan misi saat pencalonan. Sehingga tidak mengherankan jika pembangunan hanya tersekat dalam lima tahunan.
Dalam kondisi seperti ini masyarakat akan lebih banyak dikorbankan karena formulasi kebijakan pembangunan tidak lagi mengacu pada semacam GBHN atau PPHN. Tetapi lebih mengedepankan pembangunan nasional berdasarkan kemauan pemimpin terpilih.
“Tidak ada arah yang jelas dijalankan oleh pemerintah dalam membangun negara. Belum lagi soal kesinambungan program-program pembangunan yang bisa jadi mengalami keterputusan ketika terjadi pergantian pemerintah,” ucap Mufti.
Mufti berpendapat, GBHN atau PPHN perlu ditetapkan dalam rangka keterpaduan, kebulatan, keutuhan, dan kesinambungan pembangunan nasional. Terlebih lagi untuk Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang dengan kebhinnekaan di semua aspek.
“Dengan GBHN atau PPHN dapat mencegah penyalahgunaan dan kewenangan serta mencegah pengelolaan pemerintahan berdasarkan selera dan kepentingan penguasa,” pungkas Mufti.
Wartawan : Noviansyah