Banyuwangi, seblang.com – Saling serang para tokoh di media sosial mengundang keprihatinan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia ( LDII). Pasalnya, saling serang dengan muatan politik tersebut, sudah melewati area paling sensitif dari kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Media sosial kini menjurus pada perilaku nirakhlak yang dipertontonkan ke publik. Meskipun bangsa ini direkatkan oleh Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, namun komentar yang menyerang SARA sangat disayangkan,” ujar Ketua Umum DPP LDII KH Chriswanto Santoso.
Menurut Chriswanto, wajah media sosial akhir-akhir ini tidak lagi mencerminkan karakter bangsa Indonesia yang menghargai perbedaan, toleran, tenggang rasa dan tepo seliro serta gotong-royong.
Seharusnya semua pihak terutama para politisi dan para buzzer yang berafiliasi dengan kepentingan tertentu, menyadari kebangsaan Indonesia tidak bersifat natural atau alamiah.“Nasionalisme bangsa Indonesia bukan seperti nasionalisme Jerman ataupun bangsa-bangsa Skandinavia yang disatukan oleh kesamaan bahasa dan suku. Indonesia menyatu karena perasaan senasib sebagai bangsa yang dijajah, ditindas dan dihina,” jelas Alumni ITS Surabaya itu.
Suku-suku bangsa di Nusantara yang kini membangun Indonesia, memiliki perbedaan dan keragaman yang apabila diusik rentan menciptakan disintegrasi bangsa.
Chriswanto menukil pesan Bung Karno, bahwa bangsa Indonesia membutuhkan nation building, sebuah proses panjang yang harus dipelihara, dirawat, dirangsang, dibimbing dan diemong, “Namun, dalam 10 tahun terakhir, kepribadian bangsa Indonesia mendapat ancaman serius dari media sosial. Penggunaan media sosial yang tidak bijak semakin menghilangkan karakter bangsa yang berjiwa gotong royong itu,”imbuhnya.
Dalam kasus buzzer, lanjut pria berkacamata itu, mereka memainkan berbagai isu agar daya nalar kritis masyarakat menjadi tumpul. Sementara mereka yang bergerak atas nama ideologi, terus-menerus membombardir ruang publik dalam media sosial dengan kebenaran yang tunggal seakan tidak ada ruang bagi ideologi yang lain.Jadi, tidak mengherankan ujaran kebencian bahkan yang menyerang SARA menjadi pemandangan yang rutin dalam media sosial.












