Waketum MUI Pusat: Ormas Islam Diharapkan Memiliki Konsep Nyambung Bernegara

by -688 Views
Pengurus LDII bersama dengan Ketua dan Sekretaris MUI Banyuwangu saat mengikuti Tausiah Kebangsaan secara virtual di Ponpes Arroyan Jajag Gambiran Banyuwangi.


Keterhubungan itu, menurutnya sudah dicontohkan Rasulullah SAW dalam membangun negara kecil bernama Madinah, yang tertuang dalam Piagam Madinah.

Dalam pandangannya, Rasulullah mendirikan negeri Madinah sebagai negara untuk menyambung, mengikat masyarakat di dalamnya untuk hidup bersama meskipun tidak satu agama, “Islamnya saja ada golongan Muhajirin ada Ansor, ada Yahudi, Nasrani, dan Majusi yang bukan agama samawi. Dari beragam agama itu diikat untuk menyatukan perbedaan,” imbuhnya.


Sebagai penyatu perbedaan, lanjut dia Rasulullah memiliki kemampuan yang mumpuni sebagai hakim, jenderal ketika perang sampai dengan mengurus ketertiban, “Bahkan Rasulullah sampai mengurusi akhlak,” ujarnya.

Saat Turki Utsmani runtuh, negara-negara memisahkan diri dan para tokohnya bermusyawarah dan berijtihad mengenai negara mereka, “Pada 1936 Nahdlatul Ulama dalam Muktamar 1936 sudah membahas bentuk negara Indonesia. Berangkat dari musyawarah itulah lahirlah dasar negara. Pancasila ditetapkan menjadi dasar negara atas musyawarah,”tegas KH Marsudi.

Sehingga apabila ada yang bertanya pilih Alquran atau Pancasila, itu sama halnya menanyakan bumbu pecel tumpang atau pecel tumpang  bakso atau buletan bakso. Artinya, Pancasila itu terdapat dalam Alquran. Maka tugas pemerintah adalah menyambungkan hukum yang tetap berupa Alquran dan Sunnah ke dalam aturan-aturan, demi kemaslahatan umat,tambahnya.

“Alquran dan Sunnah itu hukum yang tetap, sementara masalah terus tumbuh dan berkembang, maka pemerintah tinggal membuat aturan untuk kemaslahatan. Lampu lalu lintas tidak ada dalam Alquran dan Alhadits, namun karena maslahat untuk umat manusia, maka itu sudah memenuhi aturan yang syariah,” ujarnya.

Selanjutnya dia mencotntohkan lagi, terkait wabah Covid-19. “Rasulullah menyuruh kita waspada dan lari sebagaimana waspada terhadap singa. Maka aturan turunannya ya lockdown dan bansos. Negeri ini tentu ada kekurangannya, maka kekurangannya yang diperbaiki bukan membubarkan negerinya,” tegasnya.

KH Marsudi menekankan, konteks hubungan negara dan agama terdapat dalam tiga hal. Pertama, negara harus mampu membuat hubungan antara hukum tetap (Alquran dan Alhadist) dengan produk undang-undang yang dihasilkan negara. Sehingga aturan yang dibuat negara harus bermanfaat dan mengurangi kemaksiatan atau kekacauan.

Kedua, bernegara itu harus bisa menyatukan maslahat umum dan individu, “Contohnya pajak, hasil pajak bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun adakalanya masyarakat dalam kondisi tak mampu membayar pajak, maka aturannya diubah bisa afirmasi atau tax holiday,” imbuhnya.

Selanjutnya yang ketiga, menurut dia negara harus mampu menyatukan atau merukunkan kepentingan materi dan rohani. Saat negara memperbolehkan salat, puasa, haji, dan ibadah-ibadah lainnya bahkan mengurusinya maka sudah syariah. Meskipun bakal ada tabrakan antara syariah dan maksiat, misalnya ada korupsi bantuan sosial, maka korupsinya dibasmi bukan bantuan sosialnya yang dihilangkan.

Lebih lanjut dia mengingatkan semua pihak bersyukur atas rahmat Allah kepada Indonesia yang aman dan tenteram. Negara yang didasari musyawarah, maka hukumnya wajib menjaga kesepakatan atau produk musyarawah tersebut. Apa yang kurang dari negeri ini, ia berpesan untuk diperbaiki bersama, “Bukan negaranya yang dirobohkan. Lebih baik menjadi orang miskin di negeri yang kuat dan kaya, ketimbang menjadi orang kaya di negeri yang barbar, penuh ancaman, dan ketidakpastian,” tegasnya. (nurhadi)

iklan warung gazebo