Jurnalisme Rilis Dan Corong Penguasa

by -303 Views


Duka keluarga ini bukan hanya karena salah satu anggota keluarganya tewas ditembak polisi, tetapi stigma yang tertempel: teroris. Stigma pada orang yang sudah mati yang tak bisa membantah, dan stigma pada keluarga besarnya.

Inilah sebetulnya tugas jurnalis. Tugas utama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran (Kovach & Rosenthiel, 2002). Itu bisa dilakukan dengan menelusuri jejak sebelum dan sesudah insiden. Karya jurnalistik tak cukup hanya dengan menjawab 5W+1H, karena siaran pers polisi isinya sudah memenuhi syarat itu.        Yang membedakan berita dengan siaran pers adalah adanya verifikasi, penelurusan, keterangan dari pihak lain (cover both sides), dan independensi dari narasumber.


Ketergantungan mutlak pada asupan narasumber menjadikan jurnalis setali tiga uang sebagai staf humas. Lebih tegas lagi corong penguasa. Jurnalis tak menjalankan kewajiban memantau kekuasaan.

Benarkah tindakan polisi ? Mabes mudah dimasuki orang tanpa meninggalkan KTP, para anggota polisi lari menghindar, alih-alih membekuk dan meringkus sang perempuan, anggota polisi menembak mati orang yang dicurigai, bukan melumpuhkan ? Apakah tindakan ini tidak berlebihan ? Apakah bisa dibenarkan ?

Exessive action oleh polisi di markasnya sendiri, tempat paling aman bagi para polisi, itulah yang seharusnya menjadi isu utama bagi para jurnalis. Bila tindakan polisi menembak orang salah masuk ke markas dibenarkan, akan ada berapa banyak lagi warga yang akan dengan mudah ditembak hanya karena curiga, kemudian dinyatakan sebagai ”terduga teroris”?

 

Buzzer Beda dengan Jurnalis

Beberapa waktu yang lalu pernah terjadi perdebatan mengenai netizen, buzzer, dan jurnalis. Buzer jelas bukan junalis. Namun netizen yang berperan sebagai citizen journalist atau jurnalis warga berbeda dengan para buzzer. Para buzzer menulis, berteriak, berdasarkanperintah pembina atau majikannya.

Peristiwa apa harus disikapi bagaimana, sudah di-setting secara terstruktur dan sistematis. Di banyak WAG yang disusupi buzzer, jawaban atau respon mereka akan sebuah peristiwa, kalimatnya seragam.

Sementara citizen journalist, secara lugu, polos, tanpa kepentingan apa-apa, tanpa perintah, tanpa dibayar, memotret fakta dan menyebarkannya. Insiden bom Makassar misalnya, netizenlah yang disiplin melakukan verifikasi: CCTV apa yang anglenya begitu rendah dan gambarnya begitu jelas, jalanan mana di sekitar gereja yang menggunakan paving, kapan ada perempuan Indonesia berbonceng sepeda motor miring ke kanan, mengapa mau ngebom tidak menyamar, mengapa tulisan di surat wasiat sama dengan surat perempuan di Mabes Polri, dan lainnya.

Ini adalah effort para netizen untuk mematahkan narasi tunggal kepolisian. Sayang sekali, spirit atau ruh jurnalisme semacam ini tidak ada dalam kinerja jurnalis media arus utama.

Saya tidak menghakimi bahwa jurnalis Indonesia makin tumpul cara berpikirnya. Saya hanya menangkap bahwa jurnalis Indonesia makin tertekan, makin harus banyak berkompromoi, dan makin tidak bebas mengeksplorasi peristiwa.

Ini sebuah konsekuensi zaman, sebuah pengorbanan profesional di era rezim yang mendominasi wacana sosial politik di Indonesia. Matinya nalar kritis jurnalisme. Pers tak lagi menjadi watchdog.

* Tokoh Pers Indonesia

iklan warung gazebo