oleh BERLIAN ANUGRAHINI.K, SE, MM DAN SUTARDJO
“Empowerment is a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying, using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on (Ife, 1995)”
Konsep pemberdayaan (empowerment), menurut Ife *) adalah upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Dalam Prijono dan Pranarka (1996), mengutif Paul (1987) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan.
UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan azas rekognisi dan subsidiaritas menjadikan Desa didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI. Desa ditempatkan sebagai organisasi campuran (hybrid) antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Sehingga pada dasarnya sistem pemerintahan di desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat dengan segala kewenangannya, pemerintahan masyarakat yang membentuk kesatuan entitas hukum. Dengan demikian masyarakat mempunyai kewenangan dalam mengatur desa sebagaimana pemerintahan desa. Kewenangan menjadi elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri dengan 4 kewenangan desa sebagaimana Pasal 19 dan 103.
Nawa Cita gatra 9 dalam upaya memperkuat restorasi sosial Indonesia, salah satu bentuk aksinya adalah memperkuat pendidikan kebhinneka-an dan menciptakan ruang-ruang dialog antar warga. Ruang-ruang dialog melalui penguatan ruang publik memegang kunci dalam mengimplementasikan UU No 6 tahun 2014 tentang Desa melalui agen pemberdaya cukup efektif dalam rangka mendorong gatra Nawa Cita 9 dengan memerankan Komunitas kreatif dalam rangka memperkuat akselerasi pemberdayaan masyarakat desa mendorong diskursus desa dalam ruang publik, sehingga model penguatan ruang publik menjadi ruang strategis membangun pemberdayaan masyarakat desa menjadi salah satu poin kunci dalam mempercepat pembangunan desa. Peran tersebut didorong melalui komunitas yang akan memberi daya ungkit lebih kuat dibanding hanya memberi pelatihan kepada aparat desa atau lembaga-lembaga formal desa.
Kewenangan desa berdasarkan UU Desa, merupakan modal membangun keberdayaan masyarakat desa. Akan tetapi untuk menjalankan kewenangan desa perlu diimbangi dengan kapasitas personal dan kelembagaan Desa. Kemampuan/kapasitas tersebut dimaksud adalah dapat dilakukan dengan mendorong upaya kreatif, selain proses-proses transformasi pengetahuan, dll.
Tabel 1. Peran Komunitas Kreatif mendorong kewenangan Desa
Pemberdayaan Penguatan Politik di Desa melalui Komunitas Kreatif
Proses perubahan yang terus berjalan dalam sistem sosial di masyarakat, seiring perkembangan arus globalisasi yang didorong melalui pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, sistem tatanan masyarakat menjadi terbuka dan tentunya menyebabkan berubahnya paradigma pembangunan pada negara-negara berkembang termasuk terjadi pergeseran dalam struktural pemerintah termasuk peran dan fungsi birokrasi (reinventing the government), dimana peran pemerintah yang semula menjadi pelaku utama pembangunan (provider) berubah fungsinya menjadi fasilitator pembangunan (enabler). Perubahan ini merupakan peluang dalam menumbuhkan inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat sebagai suatu strategi dalam pembangunan nasional berorientasi pada pemberian kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan dengan mendapatkan kesempatan yang sama dan dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara proporsional. Pemberdayaan di bidang ekonomi, berarti menyangkut upaya peningkatan pendapatan dan tingkat kesejahteraan hidup yang bertumpu pada kekuatan ekonomi sendiri sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri secara mandiri. Di bidang sosial budaya, berarti menyangkut upaya peningkatan kehidupan sosial budaya yang berakar pada nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat sehingga mereka tidak tercerabut dari akar budaya yang telah melingkupi kehidupan mereka selama ini. Di bidang politik, berarti menyangkut upaya peningkatan kemampuan dan pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil keputusan sendiri mulai dari proses perencanaan sampai dengan pemantauan dan evaluasi berbagai program pembangunan yang mereka laksanakan.
Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa menekankan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah “aksi bersama”. Maka aktualisasi konsep maupun pelaksanaan pemberdayaan masyarakat seyogyanya dipandang sebagai sebuah aksi bersama yang melibatkan partisipasi berbagai elemen atau unsur di dalamnya. Pelibatan berbagai elemen/unsur dalam proses pemberdayaan masyarakat hingga tingkat grass root harus dilaksanakan secara terlembaga sehingga proses pemberdayaan masyarakat lebih terencana, berkesinambungan serta terarah kepada peningkatan kemandirian masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kegiatan pemberdayaan masyarakat perlu didukung dengan upaya merevitalisasi ruang diskusi publik dalam rangka merangkai kepentingan kolektif yang didorong menjadi keputusan bersama.
UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan pengakuan (rekognisi) atas hak yang melekat dalam desa tersebut sekaligus juga disertai azas subsidiaritas desa. Dengan kombinasi antara rekognisi dan subsidiaritas itulah, maka UU Desa memandang Desa sebagai organisasi campuran (hybrid), yaitu antara masyarakat berpemerintahan (self governing community) dengan pemerintahan lokal (local self government). Keduanya merupakan satu kesatuan yang disebut “kesatuan masyarakat hukum”.
Sebagai masyarakat berpemerintahan (self governing community), Desa merupakan bentuk pemerintahan masyarakat atau pemerintahan berbasis masyarakat. Oleh karenanya, Pemerintahan Desa berbeda dengan pemerintahan daerah. Sementara desa adalah pemerintah yang berbasis masyarakat, pemerintahan daerah adalah pemerintahan yang tidak mengandung unsur masyarakat. Pemerintah daerah adalah perangkat birokrasi. Dan sebagai pemerintahan lokal (local self government), Desa tidak identik dengan pemerintah Desa dan kepala Desa. Desa mengandung pemerintahan (local self government) dan sekaligus mengandung masyarakat (self governing community), sehingga membentuk kesatuan (entitas) hukum.
Ruang publik hadir tidak semata menjadi tempat kongkow, bermain, olahraga tetapi ruang publik yang terbentuk memiliki identitas yang kuat dalam memicu kehadiran komunitas kreatif/ pelaku kreatif lainnya untuk terlibat dalam ruang tersebut. Belajar dari komunitas komunitas perkotaan banyak memanfaatkan taman kota atau ruang publik sebagai sarana beraktivitas, sehingga komunitas kreatif dan identitas ruang publik mendukung aktivitas yang dilakukan dapat menciptakan interaksi dengan individu yang lain. Sedangkan peran komunitas bagi ruang publik adalah menjadi daya tarik lain bagi masyarakat untuk datang ke tempat tersebut.
Dalam kontek pembangunan desa saat ini pendekatan pemberdayaan masyarakat dengan memerankan peran komunitas menjadi sebuah strategi pembangunan yang merubah proses pembangunan yang otoristik dengan pendekatan kekuasaan elite dan penguasa menjadi partisipatif. Melalui pendekatan ini pengelolaan sumber daya tidak dirancang dan dikelola secara partisipatif yang melibatkan masyarakat bersama pemerintah desa dan lembaga desa lainnya dalam mengelola sumber daya sesuai dengan masalah, kebutuhan, dan kondisi yang ada di desa.
Ruang publik di desa pada dasarnya dibangun dari modal sosial masyarakat desa seperti tradisi gotong royong, rembug desa, serta ruang-ruang berbagai dalam mengaktualisasi masyarakat yang biasa dipentaskan dalam bentuk penyajian seni-budaya, tetapi dalam perkembangan desa seiring perubahan tatanan politik, ruang-ruang aktualisasi masyarakat semakin hilang, balai desapun tidak menarik perhatian masyarakat secara umum, kecuali hanya elite dan pengurus lembaga-lembaga desa.
Untuk menghidupkan ruang publik menjadi pusat kemasyarakatan di desa sebagai bentuk ruang terintegrasi merupakan tantangan baru untuk mengembalikan sistem pranata sosial di desa bahwa desa bukan sekedar pemerintah desa saja, tetapi kesatuan antara masyarakat, pemerintah desa, dan perwakilan desa (BPD) serta lembaga kemasyarakatan yang ada. Sehingga selayaknya balai desa adalah simpul sosial masyarakat desa, bukan sekedar pelayanan pemerintahan desa. Sehingga balai desa bisa menjadi “Balai Rakyat” atau “Community Center” sebagai pusat kegiatan kemasyarakatan, sebuah ruang kreativitas membangun proses-proses dialogis alternatif dengan berbagai stakeholder di Desa.
Dalam membangun demokratisasi di Desa, pusat kemasyarakatan atau community center dapat berfungsi sebagai ruang aspirasi masyarakat desa. Ruang publik menjadi bangunan tindakan komunikasi politik untuk membangun kesepaham atau konsensus dalam menyelesaikan setiap permasalahan kolektif di desa.
Tabel 2. Peran Politik Ruang Publik dalam Pusat Kemasyarakatan
Komunitas kreatif Mendorong kreativitas pengelolaan pembangunan
Komunitas kreatif merupakan kelompok-kelompok masyarakat yang mendorong kreativitas sebagai motor pendorong perubahan, terutama diharapkan dalam proses perbaikan sistem tata kelola pembangunan di Desa. Terkait agenda pengembangan komunitas kreatif di Desa, maka peranan kebijakan inovatif, sebagai himpunan dari beragam kebijakan yang saling berkaitan untuk mempengaruhi perkembangan atau penguatan daya kreativitas, terutama di Desa, kreativitas yang dibangun mempunyai peranan sentral dalam perkembangan dan pembentukan munculnya gagasan masyarakat, sehingga menciptakan sistem sosial masyarakat desa yang melahirkan tata kelola pembangunan kreatif di desa, serta memunculkan sektor kreatif dalam kehidupan membangun kesejahteraan dalam bentuk usaha ekonomi kreatif di Desa.
Proses kreatif dalam hubungan sosial masyarakat perdesaan dapat di perankan dengan membentuk pusat kemasyarakatan upaya membangun kesadaran kolektif dan mendorong ‘proses katalis’ yaitu proses yang mengarahkan atau mengkondisikan peran masyarakat/ lembaga kemasyarakatan sehingga menyebabkan terjadinya percepatan perubahan sosial. Adanya perubahan sosial tersebut merupakan kunci keberhasilan sebuah pemberdayaan. Sesuai semangat UU Desa perubahan sosial yang di maksud sebagaimana pasal 4 ayat g,h,i, UU Desa bahwa pengaturan desa bertujuan antara lain : – meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; – memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan – memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.
Perubahan sosial yang dirumuskan Kotler sebagai “5C”, yaitu : – Cause (sebab), yaitu upaya atau tujuan sosial yang dipercaya oleh pelaku perubahan dapat memberikan jawaban pada problem sosial. – Change agency (agen perubahan), yaitu organisasi yang misi utamanya memajukan upaya perubahan sosial. – Change target (sasaran perubahan), yaitu individu atau kelompok sosial yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan. – Channel (saluran), yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. – Change strategy (strategi perubahan), yaitu teknik utama mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan.
Gambar 3. Proses Perubahan Sosial
Dalam Prijono dan Pranarka (1996) Kotler (1978: 18) mengemukakan bahwa upaya perubahan sosial (social change) yang terarah dalam pemberdayaan komunitas tidak lepas kaitannya dengan masalah sosial (social problem) dan aksi sosial (social action). Tiga hal tersebut merupakan satu rangkaian yang saling berhubungan. Adanya masalah sosial dapat menimbulkan perubahan sosial dan untuk mengarahkannya diperlukan aksi sosial.
Suatu kasus dapat dikatakan masalah sosial jika masyarakat setempat merasakan resah dan mereka merasa bahwa keresahan tersebut perlu diatasi dan hanya dapat atau mungkin diatasi secara bersama-sama (Kotler, 1978: 26). Untuk mengatasi masalah sosial diperlukan aksi sosial (social action), yang didefinisikan Kotler (1978: 35) sebagai: “the undertaking of collective action to mitigate or resolve a social problem”. Pada tahap aksi sosial ini terjadi proses katalis oleh agents of change (fasilitator pembangunan) untuk mengarahkan komunitas menuju kondisi berdaya.












