“Waktu itu, pada tahun 2010. Saya hanya dihubungi Cungket mau membantu melunasi hutang saya di bank sebesar Rp. 110 juta atas sertifikat dua rumah itu ,” sambungnya.
Setelah dua sertifikat rumah itu keluar, kata Mohammad, ia dan istrinya menyerahkan kedua sertifikat tersebut kepada Cung Ket sebagai jaminan setelah diberikan pinjaman uang tersebut, tanpa adanya hitam diatas putih.
“Saya hanya berpesan kepada Cungket. Saya titip dua sertifikat ini agar disimpan dengan baik. Saya masih cari uang di Bali. Bukan berarti saya menjualnya kepada Cungket,” kata Mohammad.
Selanjutnya, karena hutang ratusan juta itulah peristiwa pengosongan rumah secara paksa terjadi pada tahun 2012, disusul dengan pembongkaran rumah pada tahun 2018 dan terakhir bulan Juli 2020 ini.
Sedangkan dari pengakuan Cungket sendiri saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu, dirinya mengaku telah membeli dua rumah milik Mohammad tersebut. Sehingga dia pun tak ragu untuk merobohkan dua rumah yang dulunya pernah menjadi tempat tinggal Mohammad beserta keluarganya tersebut, hingga rata dengan tanah.
“Itu milik saya, sudah jual beli komplet dan bersertifikat atas nama saya,” kata Cung Ket saat dikonfirmasi beberapa awak media dan LSM di pabrik pengolahan plastik miliknya, di Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, Kamis (13/8) kemarin.
Kendati demikian, saat para awak media meminta ditunjukkan bukti kepemilikannya atas rumah yang ia klaim telah dibelinya dari Mohammad tersebut, namun Cung Ket tak bersedia. Bahkan, Cung Ket sesumbar untuk melaporkan dirinya ke Polisi terlebih dahulu, baru ia bersedia menunjukkan sertifikat hak miliknya tersebut.
“Tidak bisa kalau saya tunjukkan ke sampeyan (para awak media dan LSM). Laporkan dulu ke Polisi. Ya maaf, prosedurnya kan seperti itu. Yang berhak melihat itu Polisi,” ujarnya. (guh)











