
Menurutnya, penyebab anak tidak sekolah sangat beragam — mulai dari persoalan ekonomi, sosial, hingga minimnya dukungan keluarga. Pemerintah Kabupaten Malang berkomitmen mengurai setiap permasalahan agar tidak ada lagi anak yang kehilangan hak pendidikan.
“Kalau kendalanya di keluarga, ekonomi, atau sosial, nanti kita bantu mencari solusi. Semua anak harus punya kesempatan yang sama untuk belajar,” tambahnya.
Sebagai langkah nyata, Pemkab Malang memfasilitasi anak-anak yang tidak sekolah agar bisa mengikuti pendidikan di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat). Saat ini terdapat 65 PKBM di Kabupaten Malang, dengan 50 di antaranya aktif menyelenggarakan program kesetaraan Paket A, B, dan C.
“Anak-anak yang tidak sekolah akan kita masukkan ke PKBM. Mereka tidak perlu membayar karena sudah mendapat bantuan BOP dan BOS dari pemerintah. Bahkan nominal bantuannya sedikit lebih besar dibanding sekolah formal — ini bukti perhatian pemerintah,” jelas Lathifah.
Ia menambahkan, program pendidikan non-formal juga terbuka bagi warga usia dewasa yang masih bersemangat melanjutkan sekolah.
“Kalau non-formal itu tidak ada batas usia. Jadi yang berusia di atas 24 tahun dan masih ingin belajar tetap bisa,” tuturnya.
Pemerintah Kabupaten Malang kini menargetkan program ambisius “Zero ATS” yang akan dilaksanakan secara bertahap.
“Tahun pertama, kedua, dan ketiga kita rancang perencanaannya. Kita ingin targetnya jelas, pembagian tugasnya konkret — mulai dari kepala desa, camat, hingga Dinas Pendidikan sebagai eksekutor,” tegasnya.
Selain itu, Lathifah menekankan pentingnya peran Tim Penggerak PKK dalam sosialisasi dan pendekatan persuasif kepada masyarakat.
“PKK harus dilibatkan, terutama di bidang pendidikan. Saat kunjungan ke masyarakat, mereka bisa mendorong keluarga agar anak-anaknya mau kembali bersekolah. Pengaruh ibu itu besar sekali,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Malang dari Fraksi Gerindra, Zia Ulhaq, menegaskan bahwa persoalan ATS sudah menjadi atensi serius DPRD dan telah dialokasikan dalam APBD 2025.
“Masalah ATS ini sudah menjadi perhatian DPRD. Tahun 2025 sudah kami anggarkan, bahkan sudah disalurkan ke sekitar 400 penerima melalui bidang warga belajar non-formal,” jelas Zia Ulhaq.
Menurutnya, target besar Pemkab dan DPRD adalah menjadikan Kabupaten Malang sebagai daerah “Zero Anak Tidak Sekolah”. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam pembiayaan bagi peserta didik dewasa.
“Untuk anak usia produktif sampai 24 tahun masih menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Tapi bagi usia 25 tahun ke atas, tanggung jawabnya ada di pemerintah daerah. Itu bisa dibiayai lewat APBD,” terangnya.
Zia mencontohkan, jika setiap peserta didik membutuhkan biaya sekitar Rp2 juta hingga lulus, maka dengan asumsi ada 3.000 peserta ATS, Pemkab perlu menyiapkan sekitar Rp6 miliar per tahun.
“Kalau anggarannya Rp2 juta per anak sampai selesai, berarti 2 juta dikali 3 ribu, totalnya 6 miliar setahun. Dan berapa pun anggaran yang dibutuhkan, selama untuk kepentingan rakyat dan pendidikan, pasti akan kami dukung di DPRD,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya sistem pendidikan kesetaraan yang transparan dan berkualitas.
“Sekarang tidak bisa lagi ada ijazah instan. Semua peserta harus benar-benar belajar dan hadir di PKBM agar mendapatkan ijazah Paket A, B, atau C secara sah,” pungkasnya.
Dengan sinergi kuat antara Pemerintah Kabupaten Malang dan DPRD, program penanganan Anak Tidak Sekolah diharapkan mampu mewujudkan generasi Malang yang cerdas, mandiri, dan berdaya saing tinggi.///////