Tak sekadar seremonial, pertemuan ini juga menjadi ajang curhat para petani. Salah satu keluhan yang muncul adalah serangan hama wereng yang mengganggu hasil panen. Ipuk langsung merespons dengan meminta dinas terkait untuk segera memberikan pendampingan teknis di lapangan.
Lebih jauh, Ipuk menyampaikan bahwa pertanian harus dilihat secara holistik sebagai pondasi ketahanan pangan. “Pangan itu bukan cuma soal beras. Kita juga butuh kedelai, sayur, ikan, daging. Banyuwangi punya semua itu. Tinggal bagaimana kita menjaga dan mengembangkannya,” ujar Ipuk.

Dalam gaya komunikasinya yang akrab, Ipuk juga mengajak generasi muda untuk tidak malu menjadi petani. Ia menyinggung program “Jagoan Banyuwangi” yang di dalamnya terdapat sub program “Jagoan Tani” khusus bagi anak muda yang ingin berkecimpung di sektor pertanian.
“Saya yakin, sektor ini tidak akan pernah mati. Selama orang masih makan, pertanian tetap hidup. Bahkan waktu umroh haji pun, banyak yang kangen beras Banyuwangi meskipun disana ada beras arab tapi rasanya beda. Artinya, pangan itu soal rasa, soal kebutuhan, dan pertanian adalah masa depan,” tutur Ipuk disambut tepuk tangan petani.
Ia juga menegaskan bahwa alpukat memiliki masa depan cerah. Di tengah tren gaya hidup sehat, buah satu ini mulai digemari dan bahkan dianggap makanan pokok oleh sebagian masyarakat. Produk turunannya juga beragam, dari jus, selai, hingga kosmetik.
“Bapak-Ibu, jangan ragu. Bibit ini Insya Allah akan tumbuh baik dan bernilai jual tinggi. Songgon punya tanah yang subur, cocok untuk tanaman apa saja. Kita bisa menjadikan alpukat sebagai kebanggaan baru,” katanya.
Kegiatan ini ditutup dengan optimisme dan harapan besar. Petani tampak antusias menerima bantuan, sekaligus termotivasi dengan perhatian langsung dari kepala daerah. Kampung Alpukat kini bukan sekadar nama, tapi mulai menjelma menjadi simbol baru harapan di lereng Gunung Raung.











