Siapa Bilang Muhammadiyah Tenang-tenang Saja?

by -88 Views
Wartawan: Hei
Editor: Herry W. Sulaksono

Secara khusus Anwar Hudijono menyorot eksistensi Haedar Nashir ini sebagai bagian dari indikator betapa Tuhan sayang kepada Muhammadiyah. Sayang Tuhan itu dIrealisasi dengan memberi pemimpin yang baik pas dengan kebutuhan dan momentumnya.

Tesis ini merupakan mafhum mukhalafah (kebalikan) dari tesis yang didasarkan Hadits bahwa jika Allah menghukum suatu masyarakat akan diberi pemimpin yang buruk.

Kemunculan Haedar pada momentumnya. Saat dia muncul Muhammadiyah mengalami politisasi yang sangat dahsyat akibat Ketua Umum sebelumnya Dien Syamsuddin, langsung atau tidak langsung, memanfaatkan euforia politik warga Muhammadiyah menjadi kendaraan politiknya. Termasuk mendirikan Partai Matahari Bangsa.

Euforia ini terjadi sejak Ketua Umum PP Muhammadiyah Amiem Rais menjadi lokomotif reformasi menumbangkan Presiden Soeharto tahun 1998. Kemudian mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Umat Muhammadiyah yang sudah lama apatis dalam politik, termarginsalisasI, tiba-tiba seperti air bendungan yang jebol.

Di sini Tuhan mengulurkan tangan-Nya menolong Muhammadiyah agar tidak terseret arus deras politik yang banyak madlaratnya. Agar tidak terkooptasi PAN. Tidak dijadikan instrument transaksional.

Rasa sayang Tuhan, blessing indisguise, itu ditakdirkan dengan keputusan Amin Rais yang mundur dari Ketua Umum PP Muhammadiyah karena memilih menjadi Ketua Umum PAN. Padahal kalau saat itu Amien merangkap jabatan sangat mungkin terjadi karena saat itu dia sangat kuat. Tuhan mengizinkan Buya Syafii Ma’arif menggantikan Amien kemudian terpilih lagi di Muktamar.

Kemunculan Buya pada momentum yang tepat. Dia itu ibarat tembok karang yang tetap tegak kokoh di tegah gempuran gelombang. Dia bisa mengendalikan arus euforia warganya. Menyelamatkan Muhammadiyah dari kooptasi politik.

Anwar Hudijono, wartawan Kompas 1984-2012 dan Premimpin Redaksi Surya 2003-2004 ini, mengungkap, di samping campur tangan Tuhan, gelombang konflik tidak membuat Muhammadiyah terpecah-pecah juga karena pengaruh kultur Jawa yang sangat kuat. Bukankah Muhammadiyah lahir di Yogyakarta yang dikenal sebagai pusat kultur Jawa.

Pada dasarnya, menurut dia, kultur Jawa itu antikonflik. Cenderung mengutamakan harmonisasi. Maka diekspresiikan memilih diam, menahan diri, ngalah demi menghindari konflik.

Selai itu, para pendulu Muhammadiyah mewaruskan asketisme, ketarekatan. Misalnya akan menghidari kegaduhan, kehingar-bingaran yang tak perlu. Istilah tokoh Muhammadiyah tahun 1980-an Drs Lukman Harun, pantangan di Muhammadiyah itu lepas kolor di depan khalayak.

Pertanyaannya adalah apakah generasi penerus masih mewarisi nilai-nilai pedulunya?(*)

iklan warung gazebo