Hal itu terbukti, dagangan para anggotanya banyak yang tidak laku. Kondisi yang ada tentunya membuat para kondisi pedagang semakin sulit dan mengeluh.
Menurut Agus, meski banyak yang dijual, namun justru banyak yang tidak laku. Bahkan seringkali dagangan milik anggotanya yang membusuk karena sudah lama tidak laku.
“Kapan hari ada 3 timba tahu, yang terpaksa dibuang oleh penjualnya, karena sudah masuk kategori busuk. Sementara jika dikembalikan kepada pengepulnya tidak bisa, sehingga anggota kami terpaksa merugi”, jelasnya.
Bahkan, lanjut dia dari 150 lebih anggota Paguyuban Pedagang Banyuwangi Joko Tole, sebanyak 45 persen tidak mampu bertahan dan gulung tikar. Sebab sebagian dari pedagang, modal yang digunakan untuk berjualan berasal dari pinjaman, yang harus dibayar tepat waktu dan saat ini banyak yang tidak bisa membayar hutang mereka.
“Kalau pedagang ini dibunuh pelan-pelan, buat apa pemerintah daerah berjanji akan membangun pasar, jika nantinya tak ada pedagang yang jualan lagi di sini, seperti yang sudah terjadi di pasar wilayah Kelurahan Sobo yang saat ini mangkrak”, tegasnya.
Agus menuturkan apabila pemerintah daerah ada iktikad baik membangun pasar Banyuwangi, maka harus segera dilakukan proses pembangunan. Sebab fakta di lapangan hingga saat ini pasar tersebut hanya dibongkar namun tidak kunjung dibangun.
“Para pedagang sudah siap menanggung resiko, asal pasar dibangun, kita siap pindah lagi ke tempat relokasi. Namun jika tidak, maka para pedagang akan bertahan di sini”, pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, para pedagang di pasar Banyuwangi yang jumlahnya mencapai 150 lebih, sejak 2 bulan lalu direlokasi ke area Gedung Wanita yang lokasinya tidak jauh dari pasar induk Banyuwangi .
Mereka rela direlokasi oleh pemerintah setempat, karena diberi janji manis akan segera dilakukan renovasi terhadap bangunan pasar induk Banyuwangi. Namun berdasarkan pantauan di lapangan, setelah dibongkar, pasar induk Banyuwangi hingga saat ini tidak ada aktivitas pembangunan.//////












