Selain itu, Marlutfi juga menyoroti belum adanya status yang jelas untuk tenaga honorer, seperti status pendidikan, tenaga teknis di OPD (Organisasi Perangkat Daerah), operator, security, kebersihan, dan sopir. Padahal, permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing honorer juga berbeda-beda.
Oleh karena itu, aliansi tenaga honorer perlu melakukan pendataan yang lebih rinci agar dapat dianalisis dan dicari solusi yang tepat. Marlutfi juga menegaskan komitmen Mas Rio untuk tidak gegabah merumahkan terhadap tenaga honorer. Namun, sebelum mengambil keputusan lebih lanjut, dibutuhkan data yang akurat dan valid sangat diperlukan.
“Komitmen Mas Rio adalah tidak akan merumahkan tenaga honorer. Tapi, database harus diperjelas dan diperkuat terlebih dahulu. Ini terkait dengan kemampuan fiskal daerah,” jelas Marlutfi.
Meskipun demikian, Marlutfi mengakui bahwa efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga daerah juga berdampak pada daerah Situbondo. Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025.
Namun, Marlutfi menekankan bahwa setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga tidak bisa disamakan antara Situbondo dengan kabupaten lainnya. Mas Rio sendiri ingin memperjelas terlebih dahulu permasalahan yang ada di Situbondo. Jika dilihat dari jenis belanjanya, alokasi belanja pegawai yang seharusnya dibatasi hingga 30%, namun di Situbondo sudah mencapai 36%. Hal ini tentu akan menjadi beban tambahan jika status tenaga honorer ditingkatkan menjadi PPPK.
Meskipun demikian, ada solusi yang sedang diupayakan, yaitu dengan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Jika PAD meningkat, maka diharapkan beban anggaran daerah dapat teratasi dan status tenaga honorer dapat ditingkatkan menjadi PPPK. Namun, target PAD Situbondo tahun 2024 sebesar 305 miliar belum tercapai, baru mencapai 260 miliar.
“Jika PAD kita meningkat, kita bisa merekrut PPPK sebanyak yang kita mau. Beban belanja pegawai bisa ditutupi dengan pendapatan asli daerah,” pungkas Marlutfi.