Banyuwangi, seblang.com – Polemik tukar menukar kawasan hutan (TMKH) atau ruislag di wilayah Lampon, Desa Pesanggaran, Banyuwangi Selatan, kembali mencuat. Ketua Perkumpulan Trisinta Brama Kumbara, Suharsono, menegaskan bahwa proses ruislag yang ia jalani bersama Perhutani telah dilakukan sesuai prosedur dan mengantongi izin lengkap dari tingkat daerah hingga pusat.
“Sudah sesuai prosedur. Jadi sebelum berjalan, mau jalan ke mana, arahnya ke mana, tujuannya sudah pasti. Jadi bukan abal-abal,” ujar Suharsono dalam podcast di Studio Seblang.com, Jumat (5/12/2025).
Menurutnya, pengajuan TMKH telah dimulai sejak 2017. Pembelian tanah pengganti dilakukan pada 2020, dengan total sementara sekitar 30 hektare dari target kurang lebih 74 hektare.
“Pengajuannya mulai 2017. Pembelian tanah pengganti itu tahun 2020, sebanyak 21 bidang milik masyarakat di Kecamatan Pronojiwo, Desa Supiturang, Kabupaten Lumajang,” jelasnya.
Ia mengatakan, kesepakatan ruislag melibatkan Perhutani, pemerintah daerah, hingga pemerintah pusat.
“Dari Perhutani, Pemda Banyuwangi, Pemprov Jawa Timur, sampai pusat. Rekom gubernur sudah ada, Dirjen Kehutanan sudah ada, dari Biroren untuk peta juga sudah ada, rekom bupati Lumajang dan Banyuwangi juga sudah ada. Artinya semua sudah lengkap,” tegasnya.
Bahkan, Suharsono mengaku pernah mengirimkan surat langsung ke kementerian.
“Saya sudah pernah ngirim surat ke menteri, tanda terimanya juga sudah dikirim ke sini,” katanya.
Suharsono menambahkan, lahan hasil TMKH tersebut bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan direncanakan untuk pertanian guna mendukung ketahanan pangan.
“Buat pertanian, Pak. Jagung, tebu, semangka, cabai, dan lain-lain,” ujarnya.
Ia juga mengaitkan rencana tersebut dengan program pemerintah pusat.
“Saya sangat antusias dengan program presiden tentang ketahanan pangan. Salah satunya saya bantu melalui tanam campur sari,” katanya.
Dalam hal tenaga kerja, ia menegaskan komitmennya memberdayakan warga sekitar.
“Tenaga lokal, Pak. Nomor satu harus tenaga lokal, supaya yang merasakan hasilnya itu warga sekitar, bukan orang luar,” ujarnya.
Terkait lahan yang sudah ditanami masyarakat, Suharsono mengaku tidak pernah melakukan pelarangan keras dan tetap memberi waktu hingga tanaman dipanen.
“Kalau belum panen, biar panen dulu, Pak. Saya beri kesempatan supaya menikmati hasil jerih payahnya,” ucapnya.
Ia menyebut sebelumnya telah dilakukan pertemuan dan kesepakatan dengan warga.
“Sudah saya kasih banner, ada rapat-rapat. Saya kasih waktu dua tahun, lalu rapat lagi saya beri satu tahun tambahan,” katanya.
Meski kondisi lapangan disebut relatif aman, Suharsono menilai masalah justru muncul dari campur tangan pihak ketiga.
“Sebetulnya di lapangan nggak ada masalah. Cuma ada orang ke-3 itu tadi,” ungkapnya.
Ia juga mengaku pernah mendapat ancaman lisan.
“Pernah diancam. Katanya saya mau dilaporkan ke menteri,” ujarnya.
Menurutnya, pihak tersebut tidak memiliki kapasitas maupun kewenangan atas lahan yang dipersoalkan.
“Urusannya apa? Kapasitasnya sebagai apa? Mestinya tanya ke yang punya wilayah, punya izin atau tidak,” ucapnya.
Sementara itu, Nurholis, yang menangani administrasi TMKH, menegaskan bahwa seluruh proses legal telah ditempuh sesuai regulasi.
“Permohonannya di wilayah Banyuwangi, maka awalnya diajukan ke bupati. Setelah kajian tingkat kabupaten, terbit rekomendasi bupati,” katanya.
Ia merinci bahwa rekomendasi Bupati Lumajang terbit pada 17 September 2020, rekomendasi Bupati Banyuwangi pada 10 Februari 2021, dilanjutkan rekomendasi Dinas Kehutanan Provinsi dan Gubernur Jawa Timur.
“Semua sudah clear, sampai ke Direktur Utama Kehutanan pusat,” tegas Nurholis.
Terkait tanda tangan dokumen, ia menjelaskan kini seluruh proses menggunakan sistem elektronik.
“Ini sudah sistem elektronik, Pak. Pakai barcode, bukan tanda tangan basah lagi,” pungkasnya./////////////











