Ipuk-Mujiono: Perpaduan “Solidarity Maker” dan “Administrator”

by -1858 Views
Wartawan: Andang
Editor: Herry W. Sulaksono

Melihat gambar Ipuk-Mujiono, imajinasi saya terbang menuju dwitunggal Soekarno-Hatta. Bukan tampilan luarnya, atau penanda (signifier), tapi tampilan dalam, atau petanda (signified).

Tentu saja tak sama dengan dwitunggal Soekarno-Hatta. Tapi, saya melihat setipe. Setidaknya ada karakter kepemimpinan dwitunggal yang cocok dengan karakter dan pengalaman Ipuk-Mujiono.

Adalah Herbert Faith, Indonesianis asal Australia, yang melukiskan gaya kepemimpinan Soekarno dengan sebutan “solidarity maker”. Feith melihat kemampuan Soekarno menggalang solidaritas orang-orang dari berbagai macam latar belakang untuk mencapai satu tujuan.

Gaya kepemimpinan dan komunikasi Soekarno autentik. Spontanitasnya tinggi. Suka berbicara ide-ide besar yang visioner. Soekarno juga orator yang cakap menggelorakan semangat.

Tentu saja tak sama persis. Tapi, saya melihat figur Ipuk juga bertipe “solidarity maker”. Kepemimpinannya merangkul, menyemangati.

Saya melihatnya saat Ipuk harus melewati masa kritis pascapandemi. Ipuk merasa ditantang untuk menemukan hal-hal baru yang imajinatif dan kreatif. Banyak diskontinuitas terjadi antara sebelum dan setelah pandemi.

Tapi, dengan lembut dan penuh kepercayaan diri ia membangkitkan warganya untuk melewatinya. Bagaikan kendaraan, untuk melewatinya tak cukup mobil “satu gardan”, harus “dobel gardan”. Dan, Ipuk pun melenggang bersama rakyatnya dengan senyum dan suaranya yang lembut.

Saya masih terkesan saat pertama kali Ipuk masuk kantor di Desa Bayu, Senin, 1 Maret 2021. Ia melangkah penuh optimisme dengan memilih bersepatu sneakers.

Spontanitas Ipuk bisa dibilang tinggi. Juga autentik. Komunikasinya pun mengalir.

Saya sering mengikuti kegiatannya dan menyaksikan Ipuk berbicara di depan umum. Baik di dalam ruangan untuk acara resmi maupun di lapangan untuk acara tak resmi. Saya melihat Ipuk tak kesulitan berkomunikasi dengan berbagai kalangan masyarakat dalam situasi resmi maupun tak resmi.

Meski bukan orator, gaya bicaranya di depan umum menarik. Suaranya lembut, tapi meyakinkan, menyemangati, penuh optimisme.

Semua itu menjadi modal kuat bagi Ipuk untuk disebut “solidarity maker”. Justru karena kelembutan sebagai perempuan lah kekuatannya, saya menyebut “solidarity maker yang lembut”.

Sementara itu, Herbert Faith melukiskan Hatta sebagai “administrator”. Tipe ini berkutat pada pencarian cara membangun negara secara teknokratis. Berpikir secara metodologis, ketat pada logika ilmiah dan bekerja secara tertib serta disiplin. Tipe ini cakap menerjemahkan ide-ide besar yang abstrak untuk diterapkan dalam lapangan praktis.

Saya melihat, sosok Mujiono mendekati tipe “administrator”. Pengalamannya lengkap. Tumbuh dari dunia akademik (kampus) yang selalu dilatih berpikir ketat, intelektual, lalu memasuki ranah pemerintahan. Mujiono tentu saja sangat paham seluk-beluk birokrasi pemerintahan.

Perpaduan figur ”solidarity maker” dan “administrator” tentu saja menarik. Pembangunan masyarakat butuh ide-ide, butuh penggerak. Banyuwangi yang secara kultural eksploratif dan ekspresif, butuh pemimpin yang juga eksploratif dan eklspresif. Butuh pula kecakapan teknis-administratif. Butuh orang yang juga menguasai aspek teknis pemerintahan.

Apakah pasangan Ipuk-Mujiono kelak memimpin Banyuwangi? Anda lah penentunya. Rakyat Banyuwangi lah pemutusnya. *

Andang Subaharianto,

Antropolog, Dosen Universitas Jember

iklan warung gazebo