Salah satu naskah tersebut, lanjut Oman, adalah Bahrul Musyahadah. Naskah tasawuf beraliran Syatariyah tersebut memberikan legitimasi religius bagaimana memandang liyan. Apa yang ada di dunia ini sejatinya adalah reprentasi dari kehendak Tuhan.
“Dari sini, akhirnya muncul rasa saling menghargai. Tidak lantas saling menyalahkan dan menimbulkan permusuhan,” ungkapnya.
Sementara itu, Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani mengungkapkan bahwa keagamaan dan kebudayaan merupakan modal besar bagi Banyuwangi. Dua hal tersebut tak bisa diabaikan dalam derap pembangunan.
“Saat ini kami berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayan. Kami mengadaptasi teknologi, menerapkan digitalisasi dan sebagainya. Namun, nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan menjadi nilai dasar dalam melandasi pembangunan tersebut,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Ipuk mengapresiasi upaya dialogis dalam memperkuat praktik keagamaan dan kebudayaan. Menurutnya dua entitas tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. “Dalam agama ada praktik budayanya, sedangkan dalam budaya juga ada nilai-nilai spiritualitasnya. Ini harus selaras. Tidak untuk dibentur-benturkan,” tegasnya.
Acara yang merupakan edisi khusus Ngariksa episode 100 itu, juga menggelar Sarasehan Agamawan dan Budayawan. Hadir sejumlah pegiat budaya, tokoh agama hingga para akademisi. Selain Lukman Hakim Syaifuddin dan Oman Fathurrahman, juga hadir Rektor UIN KHAS Jember Prof. Babun Soeharto, Wakil Sekretaris PBNU Dr. Ginanjar Syaban, Direktur Center of Reform on Economic Dr. Hendri Saparini, serta sejumlah tokoh dan budayawan Banyuwangi. (*)











