Muhammad Izzudin, ketua panitia festival, menjelaskan bahwa acara ini melibatkan lebih dari 1000 peserta dari 7 dusun di Desa Kembiritan. “Selain pawai, kami juga mengadakan pembacaan dzikir maulid, pengajian umum, dan gerakan membaca 1000 selawat yang dimulai sejak 5 September lalu,” tuturnya.
Kegiatan ini merupakan contoh bagaimana tradisi lokal dapat disinergikan dengan pembangunan ekonomi daerah. Melalui festival endhog-endhogan, Banyuwangi tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat, mulai dari sektor perdagangan hingga industri kreatif.
Dengan memadukan unsur budaya, agama, dan ekonomi, tradisi endhog-endhogan menjadi model pembangunan daerah yang holistik. Hal ini sejalan dengan visi Banyuwangi untuk memajukan ekonomi berbasis kearifan lokal, sekaligus memperkuat identitas budaya daerah di era modern.










