Sejak 12 tahun terakhir, papar Ipuk, Banyuwangi telah memilih pariwisata sebagai payung untuk menggerakkan perekonomian. Dengan mengusung konsep ecotourism, Banyuwangi terus konsisten merawat kearifan lokal sebagai daya tarik pariwisata.
“Kami rangkul seniman dan budayawan untuk bersama-sama mengembangkan pariwisata, sekaligus tetap menjaga adat istiadat,” kata Ipuk.
Ipuk mencontohkan tentang kebijakan Banyuwangi dalam mengeluarkan izin pembangunan hotel yang menjadi salah satu prasarana wisata. Unsur-unsur lokalitas harus terlihat menonjol dalam gedung dan pengelolaannya.
“Setiap pembangunan hotel atau gedung, kami juga wajibkan untuk tetap mengusung kearifan lokal. Ini cara kami merawat budaya di tengah gempuran kemajuan peradaban,” imbuhnya.
Tidak hanya peluncuran buku, acara bertajuk Festival Literasi ini juga diisi dengan diskusi tentang pengelolaan desa wisata berbasis adat. Adapun narasumber yang dihadirkan antara lain tokoh adat Desa Kemiren, Desa Panglipuran Bali, Desa Kanekes Baduy Provinsi Banten, dan tokoh adat Kampung Naga Jawa Barat. Selain itu, ada pula Pimpinan Redaksi Perpusnas Press, Edi Wiyono, dan Ahli Etnografi Kebudayaan Indonesia, Dr. Pande Mada Kutanegara. (*)












