Dia mengingatkan bahwa teroris sering memanfaatkan media baik secara aktif maupun pasif untuk menyebarkan narasi dan agenda mereka. Secara aktif, mereka ingin menebar ketakutan, mempolarisasi opini publik, dan menarik anggota baru. Sedangkan secara pasif, mereka memanfaatkan media untuk berkomunikasi, mempelajari strategi aparat, serta mengidentifikasi target berikutnya.
“Jika tidak berhati-hati, media dapat terjebak menjadi alat bagi teroris untuk mencapai tujuan mereka,” imbau Stanley.
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh insan media untuk mengutamakan kehati-hatian, keberimbangan, dan tanggung jawab dalam memberitakan aksi dan narasi teroris. Media hendaknya tidak terjebak menyebarkan ketakutan berlebihan atau bahkan mempromosikan paham radikal.
“Jurnalisme profesional harus mampu menyajikan informasi dengan lengkap dan berimbang, tanpa justru menjadi corong bagi kelompok-kelompok intoleran,” tegas Stanley.
Hendrayana, Tenaga Ahli Dewan Pers yang juga menjadi narasumber dalam workshop tersebut menekankan peran strategis pers dalam pencegahan paham radikalisme dan terorisme.
Ia mengingatkan agar peran media dalam pemberitaan terorisme tidak menimbulkan ekses negatif bagi pemirsa atau pembaca, serta mencegah lahirnya teroris baru yang terinspirasi dari pemberitaan tersebut.
Meski dihadapkan pada kompetisi dan tuntutan kecepatan, Hendrayana menegaskan media harus tetap berpedoman pada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai landasan moral dalam publikasi.
“Wartawan harus menjalankan tugas jurnalistiknya berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, dengan tujuan memiliki rasa tanggung jawab dalam menjalankan profesi,” jelasnya.
Hendrayana menambahkan, Dewan Pers memiliki peranan penting dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik oleh insan pers. Fungsi tersebut harus benar-benar dilaksanakan dengan baik agar pers di Indonesia dapat melaksanakan tugasnya dengan seimbang dan bertanggung jawab.












