“ Ketiga hal yang dibedakan yaitu; adat istiadat itu sendiri,masyarakat hukum adat dan desa adat. Dimana untuk desa adat yang menjadi dasar hukumnya adalah UU tentang desa. Kalau adat istiadat itu terkait warisan kebudayaan dan kita sudah mempunyai Perdanya. Sedangkan masyarakat hukum adat yang diharapkan mengacu pada Permendagri No. 52 Tahun 2007 ,“ imbuh Alumni Unibraw Malang itu.
Untuk mengisi kekosongan regulasi daerah terkait masyarakat hukum adat, Kanwil Kemenkum HAM menyarankan untuk sementara cukup menggunakan Surat Keputusan (SK) Bupati. Sementara untuk penyusunan raperda hak-hak masyarakat Osing nomenklaturnya perlu disesuaikan dengan Permendagri No. 52 Tahun 2007 dan harus membentuk tim.
“Arah dan masukan dari perancang Kemenkum HAM Kanwil Jatim sebisa mungkin perda masyarakat adat Osing tidak diskriminati. Jadi masyarakat hukum adat itu secara menyeluruh tidak hanya Osing, hukum itu sifatnya harus universal , “ ujarnya.
Demikian juga dengan Raperda Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren, menurut Sofi Kanwil Kemenkum HAM Jatim juga meminta untuk dikaji ulang karena dikhawatirkan ada beberapa klausul yang menjadi kewenangan Kementerian Agama (Kemenag).
“Tetapi kita konsen Raperda Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren ini diapresiasi oleh Kemenkum HAM Kanwil Jatim karena ada inisiasi dari DPRD Banyuwangi untuk bagaimana kemudian memberikan fasilitasi yang optimal terhadap adanya pesantren di Banyuwangi. Termasuk tiga fungsi pesatren sesuai dengan UU pesantren, yakni Pendidikan,dakwah dan pemberdayaan,” jelas wakil rakyat asal Desa Benculuk tersebut.
Lebih lanjut Sofi menambahkan bahwa saat ini ada 2 (dua) raperda inisiatif DPRD Kabuaten Banyuwangi yang sudah siap untuk dibahas dan telah memenuhi ketentuan Perundang-undangan yakni Raperda Pengarusutamaan Gender dan Raperda Tentang Perlindungan Dan Pengembangan Produk Unggulan Desa.












