Untuk itu, perlu adanya sosialiasi lebih untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat agar fenomena alam tidak memakan banyak korban jiwa.
“Karena yang harus diselamatkan ini sebenarnya manusianya, dalam tanda kutip harus lebih arif dan bijak hidup berdampingan dengan alam. Kalau alam bisa mencari jalannya sendiri,” selorohnya.
Barass mencontohkan kearifan lokal masyarakat di Pulau Simeulue. Mereka mampu membaca fenomena alam pantai yang dapat menyelamatkan banyak masyarakat dari bencana tsunami Aceh yang dahsyat pada tahun 2006 silam.
“Masyarakat di sana meneriakkan Semong saat ada tanda-tanda tsunami. Teriakan semong ini merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi dimana air laut surut dan masyarakat harus lari ke bukit,” jelasnya.
Semong Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu.
Semong bagi masyarakat pulau Simeulue disosialisasikan turun temurun melalui dongeng dan legenda oleh tokoh masyarakat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati masyarakat pulau itu.
“Dengan pengetahuan ini yang dimiliki orang Simeulue banyak masyarakat pesisir pantai lainnya di Aceh terselamatkan saat tsunami terjadi. Padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Mereka memaksa orang untuk lari ke gunung,” ujarnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas BPBD Banyuwangi, Mujito menegaskan bahwasanya Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah memiliki mitigasi bencana.
“Hal itu dapat dilihat sudah banyak terpasangnya rambu-rambu proses evakuasi jika terjadinya bencana di daerah rawan sekaligus penanggulangannya,” ujarnya.////











