OPINI : Jangan Biarkan Banyuwangi Menjadi Jabodetabek Berikutnya Gegara Alih Fungsi Lahan Kalibendo

by -100 Views
Writer: Teguh Prayitno
Editor: Herry W. Sulaksono
foto dokumentasi ratusan warga Kampung Anyar Glagah Banyuwangi bersiap demo perkebunan Kalibendo yang diduga melanggar HGU alih fungsi lahan yang telah menyebabkan dampak langsung banjir lumpur ketika hujan dan mengancam sumber mata air
iklan aston

Oleh : Teguh Prayitno 

Alih fungsi lahan yang terjadi di Perkebunan Kalibendo Banyuwangi bukan sekadar masalah administratif atau perselisihan antara warga dengan perusahaan. Ini adalah peringatan dini tentang potensi bencana ekologis yang mengancam Banyuwangi.



“Nauzubillahiminzalik” Jangan sampai banjir dahsyat menenggelamkan Kota Banyuwangi, seperti apa yang telah menimpa kawasan Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi (Jabodetabek) baru-baru ini.

Fakta bahwa 400 hektar dari total 800 hektar lahan HGU Perkebunan Kalibendo telah berubah dari perkebunan kopi, cengkeh, dan karet menjadi lahan tanaman holtikultura merupakan bukti nyata pengabaian terhadap fungsi ekologis hutan. Ketika hujan turun hanya dua jam saja sudah menyebabkan banjir lumpur, kita seharusnya menyadari bahwa ini adalah gejala awal dari masalah yang jauh lebih besar.

Pengalaman Jabodetabek seharusnya menjadi pelajaran berharga. Banjir dahsyat yang merenggut nyawa dan menimbulkan kerugian material yang sangat besar adalah akumulasi dari kebijakan alih fungsi lahan yang “ugal-ugalan” selama bertahun-tahun.

Ketika air mata Gubernur Jawa Barat mengalir menyaksikan kerusakan di kawasan Puncak, sudah terlambat untuk mencegah, yang tersisa hanyalah upaya mitigasi dan pemulihan. Tangisan pemimpin provinsi Jawa Barat itu tak perlu diulangi oleh pemimpin Banyuwangi di kemudian hari jika saat ini beraksi.

Banyuwangi masih memiliki kesempatan untuk mengubah arah. Protes ratusan warga Kampung Anyar adalah bentuk kearifan lokal yang menyadari bahwa kerusakan lingkungan akan berdampak langsung pada kehidupan mereka. Namun, tanpa dukungan kebijakan yang tegas dari pemerintah daerah dan pusat, suara-suara ini akan tenggelam di tengah kepentingan ekonomi jangka pendek.

Keseriusan pemerintah dalam menangani kasus Kalibendo akan menjadi indikator komitmen terhadap kelestarian lingkungan dan keadilan sosial. Momentum protes ratusan warga Kampung Anyar harus menjadi pengingat bahwa suara rakyat adalah mandat yang tidak boleh diabaikan.

Tuntutan mereka bukan sekadar keluhan, melainkan seruan untuk menyelamatkan masa depan ekologi Banyuwangi dan kehidupan generasi yang akan datang.

Ironisnya, sikap Perkebunan Kalibendo yang defensif menantang penyelesaian melalui jalur hukum mencerminkan arogansi yang sering kita lihat dari korporasi yang merasa memiliki “pelindung”. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi harus membuktikan bahwa mereka bukan bagian dari pelindung tersebut, melainkan pelindung kepentingan rakyat dan lingkungan.

Langkah tegas seperti yang diambil oleh pemerintah pusat dan Jawa Barat dengan menyegel empat tempat wisata di kawasan Puncak perlu ditiru. Pencabutan izin HGU bagi perusahaan yang terbukti melanggar ketentuan bukanlah tindakan berlebihan, melainkan bentuk penegakan hukum yang seharusnya.

Pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan bukanlah dua hal yang bertentangan. Dengan tata kelola yang baik, keduanya dapat berjalan seiring. Perkebunan yang menjalankan usahanya sesuai dengan ketentuan HGU akan memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan fungsi ekologis. Inilah model pembangunan berkelanjutan yang harus menjadi acuan.

Banyuwangi masih bisa diselamatkan dari nasib Jabodetabek. Tetapi jendela kesempatan ini tidak akan terbuka selamanya. Tindakan tegas dan cepat adalah kunci untuk menghadang bencana yang sudah di depan mata. Kalibendo harus menjadi titik balik, bukan titik awal kehancuran ekologis Banyuwangi.

iklan warung gazebo