Ipuk-Mujiono: Perpaduan “Solidarity Maker” dan “Administrator”

by -1389 Views
iklan aston

Oleh : Andang Subaharianto

 

iklan aston

Kamis hingga Sabtu kemarin saya berkegiatan di Hotel Ketapang Indah, Banyuwangi. Di sepanjang perjalanan sejak Kalibaru hingga Ketapang Indah saya melihat gambar sejumlah tokoh.

Mereka adalah tokoh-tokoh Banyuwangi yang hendak meramaikan hajatan politik lokal, pemilihan kepala daerah (pilkada/pilbup), 27 November 2024. Meriah juga rupanya.

Saya segera menghubungi kawan yang kebetulan tokoh senior di sebuah partai politik (parpol) di Banyuwangi, Mas Eko, demikian saya biasa memanggilnya. Saya yakin kawan ini bisa menjawab yang mau saya tanyakan.

Di sepanjang jalan yang saya lewati kemarin saya malah tidak banyak menemukan gambar Ipuk Fiestiandani, bupati Banyuwangi.  Benarkah ia akan mencalonkan lagi? Akan berpasangan dengan siapa?

Kabarnya, Ipuk sudah pisah kongsi dengan Sugirah, wakilnya. Saya malah melihat gambar Sugirah di beberapa titik. Tampaknya, pria petani yang sukses menjadi wakil bupati itu hendak maju sebagai calon bupati.

Gambar Yusuf Widyatmoko, wakil bupati zaman Bupati Abdullah Azwar Anas, juga banyak. Mas Yusuf, demikian saya biasa menyapanya, rupanya akan mengadu peruntungan lagi. Ia menantang Ipuk pada pilbup yang lalu.

Maka, saya bertanya kepada kawan saya itu. Dan, benar, saya langsung dikirim link berita Radar Banyuwangi (26/07/2024, pukul 13.38). Inti beritanya, istri Menpan RB Abdullah Azwar Anas itu mendapat rekomendasi lagi dari partai pemenang pemilu di Kabupaten Banyuwangi, PDI Perjuangan (PDI-P).

Rekomendasi PDI-P itu menambah rekomendasi yang sudah dikantongi Ipuk, yakni dari Partai Nasdem dan Gerindra. Kabarnya, Partai Demokrat yang memiliki 7 kursi DPRD Banyuwangi juga mengusung Ipuk.

Dengan rekmendasi dari PDI-P tersebut, Ipuk dapat melenggang kembali sebagai calon Bupati Banyuwangi periode 2024-2029.

PDI-P Banyuwangi sebenarnya dapat mengusung sendiri calon bupati. Pada pemilu 2024 lalu, PDI-P berhasil meraup lebih 20 persen perolehan suara dan merebut 11 kursi dari total 50 kursi DPRD Banyuwangi.

Dengan tambahan kursi dari Partai Nasdem (7 kursi), Partai Gerindra (6 kursi), dan Demokrat (7 kursi), maka partai pengusung Ipuk (untuk sementara) genap memiliki 31 kursi DPRD Banyuwangi. Jauh melampaui kebutuhan minimum.

Lalu, Ipuk akan berpasangan dengan siapa? Kawan saya itu mengirimkan gambar Ipuk berpasangan dengan Mujiono, Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuwangi. “Nggih, sudah pasti, Mas,” kata Mas Eko via WhatsApp.

Ini pasangan menarik di mata saya. Keduanya bukan orang baru di pemerintahan. Ipuk sudah menahkodai Banyuwangi sejak 26 Februari 2021 bersama wakilnya, Sugirah.

Ipuk juga cukup lama berstatus “istri bupati”, dua periode jabatan Bupati Anas (2010-2020). Sebagai istri bupati, memang tak langsung berhadapan dan mengeksekusi urusan pemerintahan, tapi tentu saja mendapatkan pengetahuan dan pengalaman tak langsung.

Sementara itu, Mujiono juga bukan orang baru. Ia adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuwangi. Mujiono juga pernah menjabat sebagai pelaksana harian (Plh) Bupati Banyuwangi, sebelum Ipuk-Sugirah sebagai pemenang pilbup 2020 dilantik. Ia ordal (orang dalam) yang kenyang liku-liku birokrasi pemerintahan daerah.

Mujiono ternyata juga pernah meniti karier sebagai akademisi di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi. Bahkan, pernah pula memimpin Fakultas Teknik Untag Banyuwangi sebagai dekan.

Gambar yang dikirim kawan saya itu lalu saya telisik secara semiotik. Ipuk berkacamata, berbaju dengan kerudung warna putih, tersenyum tipis. Mujiono berkacamata, bersongkok hitam, berbaju putih. Juga tersenyum tipis.

Melihat gambar Ipuk-Mujiono, imajinasi saya terbang menuju dwitunggal Soekarno-Hatta. Bukan tampilan luarnya, atau penanda (signifier), tapi tampilan dalam, atau petanda (signified).

Tentu saja tak sama dengan dwitunggal Soekarno-Hatta. Tapi, saya melihat setipe. Setidaknya ada karakter kepemimpinan dwitunggal yang cocok dengan karakter dan pengalaman Ipuk-Mujiono.

Adalah Herbert Faith, Indonesianis asal Australia, yang melukiskan gaya kepemimpinan Soekarno dengan sebutan “solidarity maker”. Feith melihat kemampuan Soekarno menggalang solidaritas orang-orang dari berbagai macam latar belakang untuk mencapai satu tujuan.

Gaya kepemimpinan dan komunikasi Soekarno autentik. Spontanitasnya tinggi. Suka berbicara ide-ide besar yang visioner. Soekarno juga orator yang cakap menggelorakan semangat.

Tentu saja tak sama persis. Tapi, saya melihat figur Ipuk juga bertipe “solidarity maker”. Kepemimpinannya merangkul, menyemangati.

Saya melihatnya saat Ipuk harus melewati masa kritis pascapandemi. Ipuk merasa ditantang untuk menemukan hal-hal baru yang imajinatif dan kreatif. Banyak diskontinuitas terjadi antara sebelum dan setelah pandemi.

Tapi, dengan lembut dan penuh kepercayaan diri ia membangkitkan warganya untuk melewatinya. Bagaikan kendaraan, untuk melewatinya tak cukup mobil “satu gardan”, harus “dobel gardan”. Dan, Ipuk pun melenggang bersama rakyatnya dengan senyum dan suaranya yang lembut.

Saya masih terkesan saat pertama kali Ipuk masuk kantor di Desa Bayu, Senin, 1 Maret 2021. Ia melangkah penuh optimisme dengan memilih bersepatu sneakers.

Spontanitas Ipuk bisa dibilang tinggi. Juga autentik. Komunikasinya pun mengalir.

Saya sering mengikuti kegiatannya dan menyaksikan Ipuk berbicara di depan umum. Baik di dalam ruangan untuk acara resmi maupun di lapangan untuk acara tak resmi. Saya melihat Ipuk tak kesulitan berkomunikasi dengan berbagai kalangan masyarakat dalam situasi resmi maupun tak resmi.

Meski bukan orator, gaya bicaranya di depan umum menarik. Suaranya lembut, tapi meyakinkan, menyemangati, penuh optimisme.

Semua itu menjadi modal kuat bagi Ipuk untuk disebut “solidarity maker”. Justru karena kelembutan sebagai perempuan lah kekuatannya, saya menyebut “solidarity maker yang lembut”.

Sementara itu, Herbert Faith melukiskan Hatta sebagai “administrator”. Tipe ini berkutat pada pencarian cara membangun negara secara teknokratis. Berpikir secara metodologis, ketat pada logika ilmiah dan bekerja secara tertib serta disiplin. Tipe ini cakap menerjemahkan ide-ide besar yang abstrak untuk diterapkan dalam lapangan praktis.

Saya melihat, sosok Mujiono mendekati tipe “administrator”. Pengalamannya lengkap. Tumbuh dari dunia akademik (kampus) yang selalu dilatih berpikir ketat, intelektual, lalu memasuki ranah pemerintahan. Mujiono tentu saja sangat paham seluk-beluk birokrasi pemerintahan.

Perpaduan figur ”solidarity maker” dan “administrator” tentu saja menarik. Pembangunan masyarakat butuh ide-ide, butuh penggerak. Banyuwangi yang secara kultural eksploratif dan ekspresif, butuh pemimpin yang juga eksploratif dan eklspresif. Butuh pula kecakapan teknis-administratif. Butuh orang yang juga menguasai aspek teknis pemerintahan.

Apakah pasangan Ipuk-Mujiono kelak memimpin Banyuwangi? Anda lah penentunya. Rakyat Banyuwangi lah pemutusnya. *

Andang Subaharianto,

Antropolog, Dosen Universitas Jember

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.