Banyuwangi, seblang.com – Asrama Inggrisan, salah satu situs warisan budaya, akan mengalami revitalisasi oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tahun depan. Sebagai persiapan, berbagai kajian dilakukan dengan melibatkan sejumlah pakar.
Salah satu upaya tersebut adalah penyelenggaraan seminar yang menghadirkan sejarawan terkemuka JJ Rizal dan arsitek sekaligus peneliti tata kota, Marco Kusumawijaya.
“Rangkaian seminar ini menjadi bagian dari konsolidasi publik sebelum revitalisasi Asrama Inggrisan tahun depan,” ungkap Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani saat membuka seminar di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi beberapa waktu lalu.
Pemugaran Asrama Inggrisan akan mematuhi ketentuan hukum yang mengatur warisan budaya, dengan menjaga keaslian strukturnya. “Nantinya akan menjadi destinasi wisata sejarah dan edukasi yang meningkatkan daya tarik pengunjung,” tambah Bupati Ipuk.
Asrama Inggrisan berfungsi sebagai kompleks kantor telegraf yang menghubungkan dunia. Pada tahun 1871, pertama kalinya, kabel telegraf bawah laut menghubungkan Eropa dengan Australia, dengan Banyuwangi sebagai titik kunci.
“Kabel bawah laut ditarik dari pelabuhan Darwin di Australia sampai ke Banyuwangi. Dari sana, terhubung ke Singapura yang kemudian tersambung ke Eropa,” jelas JJ Rizal, pemilik penerbitan buku sejarah Komunitas Bambu.
Rizal menekankan bahwa jaringan telegraf global yang berpusat di Banyuwangi mempercepat perkembangan industri pers dan menjadi pemicu nasionalisme yang mencapai puncaknya pada abad ke-20.
Sementara itu, Marco Kusumawijaya membahas tentang kesatuan perencanaan tata ruang terkait bangunan warisan. Ia menegaskan bahwa pemugaran warisan budaya tidak hanya harus melestarikan bangunan, tetapi juga menjaga lingkungannya.
“Tidak hanya melestarikan bangunannya, tetapi juga memperhatikan pelestarian kawasannya. Sehingga fungsi dan estetika dari warisan budaya tetap terjaga,” kata penulis buku ‘Kota-Kota di Indonesia: Pengantar untuk Orang Banyak.’
Fungsi bangunan warisan budaya itu sendiri, menurut peneliti Rujak Centre for Urban Studies, menjadi penanda memori kolektif, mencakup momen manis dan pahit dari masa lalu. “Generasi sekarang bisa belajar dari peninggalan-peninggalan tersebut,” tegasnya.
Hasan Basri, Ketua Dewan Kesenian Blambangan, memberikan apresiasi terhadap kegiatan tersebut. Menurutnya, kajian sejarah yang terus-menerus tentang bangunan warisan budaya di Banyuwangi penting untuk membangkitkan kesadaran bersama. “Ini penting untuk menggugah kesadaran kita bersama,” pungkasnya. (*)