Santet Dalam Budaya Masyarakat Oesing

by -1296 Views
Sanusi Marhaedi alias Kang Usik, salah seorang tokoh budaya Oesing Banyuwangi
iklan aston

Banyuwangi, seblang.com –Banyuwangi pada masa lalu terkenal dengan kota santet yang memiliki konotasi negatif. Namun dalam kepemimpinan bupati Abdullah Azwar Anas, sekitar sepuluh tahun terakhir predikat yang memiliki konotasi kurang bagus tersebut berhasil dihapus dan saat ini kota ujung timur Pulau Jawa dikenal sebagai kota wisata.

Menurut Sanusi Marhaedi yang akrab disapa Kang Usik, santet dalam budaya dan tradisi masyarakat Oesing yang dikenal sebenarnya merupakan aji pengasihan yang tidak menyakitkan. Santet itu ada dua macam yaitu seret yang biasa digunakan oleh lelaki/ pria) dan pesensren yang dimanfaatkan kaum perempuan/ wanita untuk melariskan dagangan). Dalam budaya Banyuwangi dikenal “mesisan kanthet “ atau biar pasangan muda mudi bisa lengket. Dan pilihan yang lain “mesisan benthet” atau biar pecah atau pisah apabila memang tidak bisa bersatu.

iklan aston
iklan aston

Selanjutnya Kang Usik menuturkan, pada awalnya dulu di Banyuwangi yang identik dengan masyarakat Oesingnya, dikenal ada warung bathokan. Warung tersebut sebenarnya merupakan salahsatu bentuk kasih sayang orang tua terhadap putrinya yang sangat sayangi. Sehingga agar tidak bekerja jauh dari orangtua maka dibuatkan pondok kecil didepan rumah namanya warung, yang biasanya menjual dua makanan khas tahu kecap/lontong kecap dan lontong campur.

Kemudian, imbuh dia, warung bathokan juga menyajikan kuliner yang khas yaitu; gedang goreng endog, tahu besar dan minuman kopi, teh dan cola/limun. Kemudian gadis berjualan di warung oleh orang tuanya dicarikan pesesren, aji pengasihan agar banyak orang laki-laki tertarik untuk mampir dan membeli makanan dan minuman yang dijual.

“Dalam operasionalnya si ayah yang berbelanja ke pasar dan ibunya yang memasak. Tugas sang anaknya adalah menjaga dan melayani pembeli di warung. Tradisi yang berkembang di wilayah Banyuwangi pada sekitar tahun 1974-1976 dan setelah tidak ada,”jelas Kang Usik.

Kebanyakan pembeli itu bercanda dengan penjual dengan mengatakan” kopi ini kok nggak manis”, lantas oleh penjual kopi tersebut dicicipi, kemudian mesem-mesem dan pembeli melanjutkan minum kopinya, yang bisa diartikan awal terbukanya komunikasi antara gadis dan lelaki yang tertarik untuk mengenal lebih jauh si gadis.

Namun jika wanita tidak memberikan respon yang seperti harapan, menurut tokoh Komunitas Pelestari Adat dan Tradisi (KOPAT) Banyuwangi tersebut, maka seorang lelaki terkadang akan mencari orang tua yang memiliki “ilmu seret”, supaya wanita kena guna-guna seret akhirnya luluh dan tidak rewel yang terkadang terjadi tradisi kawin colongan. Sehingga Santet dalam budaya masyarakat Oesing itu tidak mematikan dan menyakitkan.

Namun sekali waktu terjadi untuk mempermalukan gadis bersama keluarganya, terkadang seorang lelaki menggunakan aji pengasihan “Jaran Goyang” yang dimaksudkan agar si gadis bertingkah seperti jaranan, imbuh pria yang tinggal di Kampung Dukuh desa Glagah Banyuwangi itu.

Selanjutnya terkait dengan rampainya pemberitaan deklarasi Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) menurut Kang Usik, namanya dukun cakupanya bukan lagi nusantara akan tetapi sudah mendunia.

Menurut dia akan lebih baik apabila Perdunu menggelar “Festival Pengobatan Herbal Nusantara” yang bisa mengangkat aneka macam tanaman herbal bumi Blambangan yang terbukti mampu menjadi pengobatan alternatif dan para leluhur terbukti sebagian mampu hidup lebih dari seratus tahun.

Selain itu istilah santet yang dikenal dunia memiliki konotasi yang negatif sehingga bisa merugikan nama Banyuwangi yang susah payah diperjuangkan untuk dihapus dalam era kepemimpinan bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Saat ini terbukti berhasil merubah image menjadi Banyuwangi kota yang hebat dalam pembangunan dan pengembangan wisata yang diakui oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia dengan berbagai penghargaan yang diraih.

Wartawan: Nurhadi

 

No More Posts Available.

No more pages to load.