Banyuwangi, seblang.com – Direktur Student Crisis Center (SCC) Pimpinan Cabang (PC) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Banyuwangi menyampaikan keprihatinan atas peristiwa penangkapan seorang pelajar asal Nganjuk di Kediri yang dituding sebagai provokator demonstrasi, serta penyitaan sejumlah buku yang disebut aparat sebagai milik “pegiat literasi.”
Menurut Direktur SCC PC IPNU Banyuwangi, M. Fathur Rozak, kebebasan literasi dan pengetahuan merupakan hak dasar setiap pelajar.
“PC IPNU Banyuwangi menegaskan bahwa membaca, menulis, dan berdiskusi adalah bagian integral dari perjalanan intelektual seorang pelajar. Dalam Islam, perintah iqra’ menguatkan bahwa menuntut ilmu dan berpikir adalah amalan yang sangat mulia,” ujar Fathur Rozak dalam rilis resminya, Kamis (25/9/2025) malam.
Ia menilai menjadikan aktivitas literasi sebagai dasar kecurigaan atau penangkapan tanpa klarifikasi terbuka adalah tindakan yang bertentangan dengan semangat kebebasan intelektual. “Pelajar bukan objek represi, melainkan agen pembaruan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Fathur Rozak menyoroti tindakan penyitaan buku tanpa transparansi. Menurutnya, langkah itu merupakan bentuk represi yang harus dikritisi. Ia menekankan bahwa setiap tindakan hukum, termasuk penahanan pelajar maupun penyitaan buku, harus memiliki dasar hukum yang jelas dan dapat diuji.
“Pelajar atau keluarganya harus dipanggil dan diberi kesempatan membela diri. Penyitaan buku harus melalui proses penilaian konten yang transparan, bukan dilakukan secara sewenang-wenang,” tambahnya.
Ia menegaskan, penyitaan buku sebagai barang bukti tanpa transparansi dan tanpa mekanisme banding berpotensi menjadi intimidasi terhadap kebebasan intelektual serta menimbulkan efek jera bagi pelajar lain.
Fathur Rozak menegaskan PC IPNU Banyuwangi menghormati fungsi negara dalam menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, serta pencegahan ideologi ekstremisme. Namun, aparat juga tidak boleh menggunakan dalih keamanan untuk membungkam gagasan kritis.
“Bila aparat melakukan tindakan yang melampaui batas, maka aparat itu sendiri harus dipertanggungjawabkan dan dikritik,” tegasnya.
Oleh karena itu, IPNU Banyuwangi mendesak aparat Kediri segera mengumumkan dasar hukum dan fakta yang melatarbelakangi penangkapan pelajar tersebut. Selain itu, pihaknya meminta pemerintah daerah, kepolisian, dan Dinas Pendidikan untuk memfasilitasi dialog publik sebagai sarana klarifikasi dan penyejuk suasana.
IPNU Banyuwangi juga berharap proses hukum terhadap pelajar tersebut tetap menjamin hak-hak dasar, termasuk pendampingan hukum, pemeriksaan terbuka, dan restitusi apabila terbukti penahanan maupun penyitaan tidak sah.
“Pemerintah pusat maupun daerah harus memperkuat perlindungan kebebasan berpendapat dan literasi di kalangan pelajar sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa,” lanjutnya.
Sebagai wujud tanggung jawab terhadap dunia pelajar di Banyuwangi, IPNU Banyuwangi akan menjadikan kasus ini sebagai bahan kaderisasi kesadaran agar pelajar memahami hak-haknya dan berani menyuarakannya secara bijak. Organisasi ini juga berkomitmen membuka forum diskusi, workshop literasi kritis, serta advokasi bagi pelajar yang merasa haknya terlanggar, bekerja sama dengan lembaga hukum, organisasi pelajar lain, maupun media.
Selain itu, pihaknya kembali mendorong pembentukan Ruang Aman Pelajar di Banyuwangi, sebagaimana pernah diusulkan PC IPNU–IPPNU kepada Pemkab, sebagai wadah aspirasi dan pengaduan pelajar terhadap tindakan represif.
“Kasus penangkapan pelajar di Kediri menjadi pengingat bahwa perjuangan pelajar atas literasi, keadilan, dan kebebasan bukan perkara kecil. Bila dibiarkan, hal ini akan menciptakan atmosfer ketakutan di kalangan pelajar yang justru membungkam potensi intelektual generasi penerus bangsa,” tegas Fathur Rozak.
“IPNU Banyuwangi menegaskan: akan tetap mengawal, memberi suara bagi pelajar, dan menolak kultur pembungkaman. Itu kami lakukan bukan semata dalam semangat perlawanan, tetapi dalam semangat keislaman yang adil, rahmah, dan berpihak pada kebenaran,” pungkasnya.