“Sudah ada yang ambil setiap hari. Nggak susah jualan sekarang,” ujarnya.
Ia bersyukur, tren positif ini memberi tambahan penghasilan bagi keluarganya. Besek ukuran besar yang dijual lebih mahal memberi keuntungan lebih besar pula.
Papring sendiri bukan nama asing dalam dunia kerajinan bambu di Banyuwangi. Nama ini merupakan singkatan dari *panggonane pring* alias tempatnya bambu. Pada era 60-an hingga 90-an, hampir semua warga menggantungkan hidup dari anyaman bambu.
Namun sejak tahun 2000, industri ini menurun drastis. Masuknya produk plastik dan perubahan gaya hidup membuat banyak perajin gulung tikar. Dari sekitar 60-80 persen warga yang dulunya perajin, hanya tersisa 10 persen yang bertahan.
Kini, situasinya berbalik. Kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan dukungan kebijakan pemerintah membuka peluang baru. Warga Papring kembali bangkit menekuni kerajinan bambu.
“Sekarang hampir semua warga terlibat lagi. Ada sekitar 80 keluarga yang kembali membuat aneka produk bambu. Nggak cuma besek, tapi juga tas, capil, gedek, dan lain-lain. Total ada sekitar 20 jenis produk yang dihasilkan,” terang Widie.
Produk-produk tersebut tak hanya digunakan untuk kebutuhan lokal, tapi juga mulai merambah pasar luar daerah.//////