Candi Bocok dan Sapto: Jejak Hindu-Buddha di Ujung Barat Malang yang Terlupakan

by -18 Views
Writer: Achmad Soeseno
Editor: Herry W Sulaksono
Atas : Candi Bocok, Bawah : Candi Sapto

Malang, seblang.com – Di kawasan Kasembon, ujung barat Kabupaten Malang yang berbatasan dengan Kediri, dua situs candi berdiri dalam diam: Candi Bocok dan Candi Sapto. Keduanya menjadi saksi bisu lintasan sejarah yang mempertemukan dua keyakinan besar Nusantara: Hindu dan Buddha.

Candi Sapto bercorak Buddha. Sayangnya, informasi tentangnya sangat minim. Di sisi lain, Candi Bocok lebih dikenal masyarakat karena keberadaan arca Siwa dan Parwati, yang menunjukkan corak Hindu. Dahulu, konon terdapat pula arca Ganesha, namun kini telah hilang.

Para Pegiat Budaya

Menurut Budi Hartono, pegiat budaya dari Amartya Bhumi Kepanjian, keberadaan dua candi dengan corak berbeda dalam satu kawasan menguatkan bukti akulturasi budaya dan spiritualitas di masa lampau.

“Ini bukan hanya soal bangunan tua, tapi simbol bahwa perbedaan keyakinan bisa hidup berdampingan secara harmonis sejak berabad-abad lalu,” ujarnya dalam program Jejak Kearifan, Minggu (25/5/2025).

Ket foto. Candi Bocok yang berada di Kecamatan Kasembon Kabupaten Malang

Candi Bocok sendiri mulai dirawat sejak awal 1980-an oleh Mulyanto, warga setempat. Saat itu, situs hanya berupa reruntuhan batu bata dan arca yang nyaris terlupakan.

Atas inisiatif pribadi, Pak Mulyanto melakukan pembersihan dan penataan. Tahun 1985, Dinas Kepurbakalaan Jawa Timur turun tangan membantu identifikasi dan penyusunan kembali struktur candi.

Meski begitu, perhatian negara masih minim. Mulyanto baru mendapat SK sebagai juru pelihara tahun 1993, dengan insentif sangat terbatas. Ia terus merawat situs hingga pensiun tahun 2018, dilanjutkan oleh putranya, Erdik.

Foto sisa-sisa puing peninggalan Candi Sapto

Candi Sapto sendiri lebih sepi dari sorotan, padahal secara arsitektur dan sejarah memiliki nilai penting. Kedua candi itu dibangun dengan bahan batu bata merah dan arca batu andesit—ciri khas bangunan era Majapahit.

“Kalau di Trowulan, candi-candi dari masa Majapahit sudah lebih dikenal. Tapi di sini, di Kasembon, banyak tinggalan sejarah yang belum tersentuh perhatian,” tambah Budi.

Kedua candi itu tak pernah menjadi pusat ritual masyarakat lokal. Justru para peziarah dan penganut kepercayaan Hindu dari luar daerah, seperti Bali atau Kediri, kerap datang untuk sembahyang atau tirakat.

Kini, di tengah gempuran modernisasi dan keterbatasan anggaran, Candi Bocok dan Candi Sapto tetap bertahan. Berkat pengabdian warga dan kesadaran komunitas budaya, keduanya masih berdiri—meski tanpa pagar, tanpa plakat, dan jauh dari gemerlap destinasi wisata sejarah.

iklan warung gazebo