Oleh: Teguh Prayitno
Dalam sebuah kisah dua kota yang kontras, Sidoarjo dan Banyuwangi menjadi panggung ironi penegakan hukum di Jawa Timur. Di satu sisi, Kejaksaan Negeri Sidoarjo menunjukkan taring tajamnya dalam memberantas korupsi. Di sisi lain, Kejaksaan Negeri Banyuwangi seolah kehilangan kompas keadilannya.
Sidoarjo: Keadilan yang Bergerak Cepat
Kejari Sidoarjo tidak memberi ampun. Empat anggota Kelompok Masyarakat (Pokmas) langsung dijebloskan ke dalam jeruji besi atas dugaan korupsi proyek saluran air fiktif senilai Rp 400 juta. John Franky Yanafia Ariandi, Kasipidsus Kejari Sidoarjo, dengan lantang menyatakan, “Korupsi ini sangat merugikan kepentingan publik.” Sebuah pernyataan yang menggaungkan komitmen tak tergoyahkan terhadap kepentingan rakyat.
Banyuwangi: Ketika Hukum Tertidur Lelap
Sementara itu, di ujung timur Pulau Jawa, sebuah drama absurd tengah berlangsung. NH, tersangka korupsi mamin fiktif senilai Rp 400 juta, bebas mondar-mandir selama hampir dua tahun. Kejari Banyuwangi? Bungkam seribu bahasa. Bahkan ketika wartawan mengetuk pintu keadilan, mereka memilih untuk menutup telinga.
Pertanyaan yang Menggugat Nurani
1. Mengapa ada dua standar dalam penegakan hukum di provinsi yang sama?
2. Apakah keadilan di Banyuwangi sedang dijual dengan harga murah?
3. Sampai kapan masyarakat harus menunggu Kejari Banyuwangi bangun dari tidur panjangnya?
Kejari Sidoarjo telah membuktikan bahwa ketegasan bukan sekadar retorika. Mereka bergerak cepat, transparan, dan tanpa kompromi. Sementara Kejari Banyuwangi? Mereka seolah lupa bahwa setiap detik kelambanan adalah detik hilangnya kepercayaan publik.
Ironi yang Menusuk
Di Sidoarjo, empat tersangka korupsi meringkuk di balik jeruji. Di Banyuwangi, NH masih bebas menghirup udara segar. Di Sidoarjo, jaksa berbicara lantang tentang keadilan. Di Banyuwangi, jaksa memilih bisu seolah kasus korupsi adalah aib yang harus disembunyikan.
Quo Vadis, Penegakan Hukum?
Kinerja Kejari Sidoarjo seharusnya menjadi standar, bukan anomali. Sementara itu, keengganan Kejari Banyuwangi harus dipertanyakan dan diusut tuntas. Dalam perang melawan korupsi, tidak ada ruang untuk keraguan atau permainan di balik layar.
Masyarakat Jawa Timur, bahkan Indonesia, patut menuntut kesetaraan dalam penegakan hukum. Jika Sidoarjo bisa, mengapa Banyuwangi tidak? Ataukah memang ada ‘kekuatan besar’ yang menghalangi roda keadilan di Banyuwangi?
Sudah waktunya seluruh institusi penegak hukum di Indonesia terbangun dari mimpi buruk ketidakadilan. Sidoarjo telah menyalakan obor. Akankah Banyuwangi terus memilih untuk berjalan dalam kegelapan?