Banyuwangi, seblang.com– PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) menuai kritikan setelah menerbitkan surat pengaturan media yang mengharuskan pers mengajukan surat permohonan peliputan.
Surat Nomor : HM.001/01510/XII/ASDP-2023 tertanggal 1 Desember 2023 tersebut, menetapkan persyaratan khusus untuk peliputan angkutan Lebaran, Natal, dan Tahun Baru di area pelabuhan ASDP.
Tindakan ini diambil untuk memastikan pengawasan selama masa Posko Angkutan Lebaran, Natal dan Tahun Baru demi mendukung sterilisasi di kawasan pelabuhan penyeberangan yang dikelola ASDP.
Adapun surat yang ditandatangani Corporate Secretary PT ASDP Indonesia Ferry, Shelvy Arifin, menyebutkan bahwa Pimpinan Redaksi diwajibkan mengajukan surat permohonan peliputan, dilampirkan dengan ID Card personil media.
Selanjutnya, permohonan akan diverifikasi dan ditindaklanjuti dengan pemberian ID Card Visitor. Kebijakan ini disertai sanksi, dimana wartawan yang tidak mengenakan ID Card Visitor resmi akan ditegur dan dilarang meliput di area Pelabuhan. Tak hanya itu, para wartawan hanya diperbolehkan melakukan peliputan di area yang sudah ditentukan dan hanya dapat mengutip informasi dan data melalui juru bicara ASDP yang sudah ditetapkan.
Firman, Humas ASDP Indonesia Ferry Cabang Ketapang mengamini adanya surat edaran tersebut. Menurutnya ini demi menjaga ketertiban, kelancaran dan keamanan di lingkungan Pelabuhan Penyeberangan ASDP.
“Surat permohonan peliputan itu untuk kebaikan bersama. Supaya pihak redaksi juga tahu wartawannya bertugas meliput di pelabuhan Penyeberangan ASDP dan kami juga ingin mengenal teman-teman wartawan,” kata Firman, Sabtu (9/12/2023).
Terkait titik lokasi peliputan, kata Firman, dapat didiskusikan sesuai urgensinya. “Karena kita tidak ingin wartawan yang bertugas mengalami kecelakaan kerja mengingat kondisi selama angkutan lebaran dan nataru yang ramai dan banyak aktivitas di dalam pelabuhan yang cukup berbahaya,” ujarnya.
Sementara itu Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Banyuwangi, mengecam kebijakan tersebut. Ketua IJTI Banyuwangi, Syamsul Arifin, menyatakan bahwa kebijakan ini berpotensi merenggut kemerdekaan dan kebebasan pers. Menurutnya, kebijakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara.
“Dimana pada Pasal 2 UU Pers ditegaskan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum,” ujarnya.
Selain itu, jelas Syamsul, pada Pasal 4 ayat 1, 2 dan 3 dijabarkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dan di ayat 3 diamanatkan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
“Sementara pada Pasal 18 UU Pers ditegaskan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),” tegasnya.
Syamsul Arifin juga menegaskan bahwa pelabuhan ASDP merupakan tempat pelayanan publik milik pemerintah, dan pers nasional memiliki peranan untuk melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Oleh sebab itu, IJTI Banyuwangi mendesak kementerian terkait untuk mengkaji dan mengevaluasi kebijakan PT ASDP Indonesia Ferry yang dianggap sebagai bentuk kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan wewenang. Serta terindikasi sengaja dilakukan sebagai upaya untuk menutupi suatu kekurangan dalam pelayanan.
“Diharapkan kementerian terkait bisa turut mengkaji dan meng evaluasi kebijakan PT ASDP Indonesia Ferry, yang berpotensi merenggut kemerdekaan dan kebebasan pers serta merugikan masyarakat luas atas hak dalam mendapatkan informasi ini,” pungkasnya.