Banyuwangi, seblang.com – Ahmad Jaenuri, S.Pd., M.Pd., Kepala Cabang Dinas (Kacabdin) Pendidikan Jatim Wilayah Kabupaten Banyuwangi mengatakan kurang lebih 20 Siswa di SMKN 1 Glagah salah satu sekolah kejuruan unggulan di Kabupaten Banyuwangi, dan ini merupakan kewenangan pihak sekolah.
Saat dikonfirmasi melalui sambungan pesan WA(whats app) Achmad Jaenuri, menyampaikan harus diakui bahwa keputusan terhadap kenaikan kelas seorang siswa berada di tangan pihak sekolah. Artinya, layak atau tidaknya seorang siswa naik kelas bisa dinilai dari hasil belajarnya selama setahun, Sabtu (26/8/23)
“Intinya terkait dengan keputusan kenaikan kelas memang ada di pihak sekolah, yaitu jika siswa dinyatakan tidak memenuhi kriteria dalam standar penilaian,” ucap jaenuri
Selain itu kacabdin menambahkan terkait dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 ayat 1 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru memiliki 12 hak. Pada poin ke-6 terkait hak profesional itu,
“Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan,” pungkas Kacabdindik Banyuwangi itu.
Seperti yang diungkapkan Wakil Kepala SMKN 1 Glagah Bidang Kurikulum, Misbahus. “Kurang lebih ada 20-an siswa,” kata dia kepada seblang.com, Jumat (25/8/2023).
Lebih lanjut, Misbahus menjelaskan, keputusan tersebut berdasarkan hasil musyawarah dan pertimbangan dewan guru yang matang. Petunjuk teknisnya berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, No 262/M/2022 Tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran.
Menurutnya, ada delapan kriteria penilaian untuk menentukan siswa tidak naik kelas tersebut. Yakni laporan kemajuan belajar, laporan pencapaian project penguatan profil pelajar Pancasila (P5), portofolio peserta didik, paspor keterampilan untuk SMK/SMA, prestasi akademik dan non akademik, ekstrakurikuler, penghargaan peserta didik, dan tingkat kehadiran.
“Jadi prosesnya panjang. Opsi tidak naik kelas itu menjadi pilihan paling akhir (untuk 20 an siswa kelas X dan XI tahun ajaran 2022-2023 tersebut),” ujarnya.
“Yang tidak naik kelas ini juga ada siswa yang mengundurkan diri,” imbuhnya.
Sementara itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010).
Di berbagai negara, kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak meningkatkan prestasi akademik peserta didik, terutama yang mengalami kesulitan belajar.
Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif peserta didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021).
Hal ini menunjukkan bahwa mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman-temannya, melainkan tetap lebih rendah.
Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik tersebut adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar yang lebih intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang seluruh pelajaran selama setahun.
Dalam hal terjadi kasus luar biasa, jika terdapat banyak mata pelajaran yang tidak tercapai oleh peserta didik dan/atau terkait isu sikap dan karakter peserta didik, maka satuan pendidikan dapat menetapkan mekanisme untuk menetapkan peserta didik tidak naik kelas. ///////