Banyuwangi seblang.com – Siapa bilang Kurikulum Merdeka menjamin siswa tak diperkenankan tidak naik kelas. Nyatanya, kurang lebih 20 Siswa di SMKN 1 Glagah yang merupakan salah satu sekolah kejuruan unggulan di Kabupaten Banyuwangi harus mengulang alias tinggal kelas.
Hal tersebut diungkapkan Wakil Kepala SMKN 1 Glagah Bidang Kurikulum, Misbahus. “Kurang lebih ada 20-an siswa,” kata dia kepada seblang.com, Jumat (25/8/2023).
Lebih lanjut, Misbahus menjelaskan, keputusan tersebut berdasarkan hasil musyawarah dan pertimbangan dewan guru yang matang. Petunjuk teknisnya berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, No 262/M/2022 Tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran.
Menurutnya, ada delapan kriteria penilaian untuk menentukan siswa tidak naik kelas tersebut. Yakni laporan kemajuan belajar, laporan pencapaian project penguatan profil pelajar Pancasila (P5), portofolio peserta didik, paspor keterampilan untuk SMK/SMA, prestasi akademik dan non akademik, ekstrakurikuler, penghargaan peserta didik, dan tingkat kehadiran.
“Jadi prosesnya panjang. Opsi tidak naik kelas itu menjadi pilihan paling akhir (untuk 20 an siswa kelas X dan XI tahun ajaran 2022-2023 tersebut),” ujarnya.
“Yang tidak naik kelas ini juga ada siswa yang mengundurkan diri,” imbuhnya.
Sementara itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010).
Di berbagai negara, kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak meningkatkan prestasi akademik peserta didik, terutama yang mengalami kesulitan belajar.
Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif peserta didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021).
Hal ini menunjukkan bahwa mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman-temannya, melainkan tetap lebih rendah.
Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik tersebut adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar yang lebih intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang seluruh pelajaran selama setahun.
Dalam hal terjadi kasus luar biasa, jika terdapat banyak mata pelajaran yang tidak tercapai oleh peserta didik dan/atau terkait isu sikap dan karakter peserta didik, maka satuan pendidikan dapat menetapkan mekanisme untuk menetapkan peserta didik tidak naik kelas.
Namun demikian, keputusan ini sebaiknya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati mengingat dampaknya terhadap kondisi psikologis peserta didik. Selain itu, tinggal kelas juga memberatkan secara ekonomi.
Hasil tes PISA 2018 menunjukkan bahwa di berbagai negara, mayoritas siswa yang pernah tidak naik kelas adalah siswa dari keluarga kelas menengah ke bawah (OECD, 2020). Ketika mereka tinggal kelas, biaya untuk mengulang satu tahun belajar memberatkan keluarga sehingga mereka semakin rentan putus sekolah.
Dengan demikian, kebijakan tidak naik kelas adalah kebijakan yang tidak efisien. Peserta didik harus mengulang semua mata pelajaran untuk jangka waktu satu tahun penuh, padahal mungkin bukan itu yang menjadi kebutuhan belajar mereka.
Sehingga apabila terdapat tujuan pembelajaran pada mata pelajaran tertentu yang tidak tercapai sampai saatnya kenaikan kelas, maka pada rapor peserta didik tersebut dituangkan nilai aktual yang dicapai dan dideskripsikan bahwa peserta didik tersebut masih memiliki tujuan pembelajaran yang perlu ditindaklanjuti di kelas berikutnya.//////