Banyuwangi, seblang.com – Banyuwangi dikenal sebagai salah satu kabupaten yang memiliki berbagai macam adat istiadat dan seni budaya. Salah satunya adalah adat dan tradisi sebagian masyarakat Oesing yang tinggal di Kampung Dukuh Desa /Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Menurut Sanusi Marhaedi yang akrab disapa Kang Usik, tokoh Komunitas Osing Pelestari Adat Tradisi (KOPAT) Banyuwangi, masyarakat di lingkunganya memiliki kepercayaan arwah para leluhur mendatangi rumah anak turunya setelah tanggal 15 Nisfu Syahban atau bulan Ruwah.
Sehingga dalam bulan Ruwah warga yang memiliki utang piutang berupaya untuk menuntaskan. “ Pasangan suami istri dalam bulan Ruwah apabila memiliki masalah pantang untuk bertengkar. Mereka berusaha mengalah dengan berupaya menjauh untuk meredam emosi yang cenderung meningkat,” jelas Kang Usik.
Menurut dia kepercayaan yang tumbuh dan berkembang di lingkungnaya merupakan salahsatu bentuk kearifan lokal masyarakat setempat yang berupaya melakukan pembersihan diri sehingga memasuki bulan Ramadan dalam keadaan bersih dan suci. Sehingga mereka mampu menjalan ibadah puasa Ramadan dengan tenang dan khusyuk.
Tradisi lain yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kampung Dukuh adalah selama bulan Ruwah mereka berupaya memenuhi kendi atau tempat minum dengan air dan selalu menyediakan nasi setiap malam meskipun tidak ada lauk.
“Karena masyarakat percaya leluhurnya pulang maka perlu disiapkan makan dan minum setiap malamnya,” imbuhnya.
Warga setempat tua maupun muda setelah tanggal 15 Nisfu Syahban mendatangi kuburan atau makam leluhur maupun kerabat yang sudah meninggal dunia untuk membersihkan dari rumput dan tanaman liar serta mengirinkan doa-doa untuk membantu mereka yang sudah berada di alam keabadian.
Puncaknya, lanjut Kang Usik malam 1 Ramadan masyarakat memotong ayam kampung untuk menggelar selamatan yang dikenal dengan istilah “Penampan”. “Para sesepuh dulu memotong ayam sesuai dengan kesukaan para orang tua atau leluhunya. Misalnya, bagi leluhur yang menyukai ayam berkaki kuning bersih maka warga berupaya untuk menyembelih ayam dengan kaki warna kuning,” tambah Kang Usik.
Sehari sebelum Ramadan, setelah salat Zuhur pada jaman dahulu masyarakat mengurangi aktivitas dan lebih banyak merenung dan bertafakur menyiapkan jiwaraganya memasuki bulan suci Ramadan.
“Bahkan sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjalani ibadah puasa, potong rambutpun dilakukan malam hari. Lalu pada saat buang hajat di sungai pantatnya diupayakan tidak menyentuh secara langsung air yang mengalir karena takut batal puasanya,” pungkas Kang Usik.//