Oleh : Hendra Prayogi (Wakil Ketua Bidang Agraria DPD GMNI Jawa Timur)
Di berbagai daerah seringkali muncul persoalan-persoalan sosial tak terkecuali persoalan batas antar daerah, cara penentuan batas wilayah haruslah memenuhi aspek yuridis dan teknis di lapangan. Ketika ini tidak dapat dipenuhi maka akan timbul sengketa.
Penyelesaian berjenjang oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur adalah bentuk penyelesaian secara politik pemerintahan. Penyelesaian berjenjang oleh Menteri Dalam Negeri dan Gubernur adalah wujud perbuatan hukum publik atas nama negara. Peran Menteri Dalam Negeri dan Gubernur menunjukkan perilaku aktif negara sebagaimana ditegaskan dalam prinsip negara modern, yang merupakan bentuk penyelesaian batas wilayah antar daerah sebagai bagian dari penyelenggaraan fungsi pemerintahan.
Ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang ada memuat norma atau mengandung pilihan, dalam hal ini harus dipahami bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak dalam kapasitas sebagai fungsi mengadili ataupun sebagai fungsi legislasi.
Terdapat 3 (tiga) aspek penting terkait penetapan batas wilayah, yaitu; masalah kepastian hukum, penegakan hukum, dan eksplorasi dan eksploitasi.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Indonesia masuk dalam babak baru yaitu era otonomi daerah. Daerah otonom diberi kewenangan dengan prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab. Yang mana kemudian undang- undang tersebut diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan yang terakhir dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berbagai implikasi kemudian muncul karena implementasi undang-undang tersebut, satu diantaranya yaitu bahwa daerah memandang sangat pentingnya penegasan batas daerah. Salah satu penyebabya dikarenakan daerah memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayahnya.
Daerah dituntut untuk berperan aktif dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya di daerahnya. Kemampuan daerah dalam mengoptimalkan sumber daya yang ada menjadi penentu bagi daerah dalam menjalankan otonomi daerah.
Oleh karena itu daerah-daerah menjadi terdorong untuk mengetahui secara  pasti sampai sejauh mana wilayah kewenangannya, terutama yang memiliki potensi sumber daya yang mendukung Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Faktor strategis lainnya yang menyebabkan batas daerah menjadi sangat penting adalah karena batas daerah mempengaruhi luas wilayah daerah yang merupakan salah satu unsur dalam perhitungan Dana Alokasi Umum (DAU) dan bagi hasil sumber daya alam (SDA).
Daerah melaksanakan kewenangan masing-masing dalam lingkup batas daerah yang ditentukan, artinya kewenangan suatu daerah pada dasarnya tidak boleh melampaui batas daerah yang ditetapkan dalam peraturan perundang- undangan.
Apabila batas daerah tidak jelas akan menyebabkan dua kemungkinan akibat negatif. (1) Pertama, suatu bagian wilayah dapat diabaikan oleh masing- masing daerah karena merasa itu bukan daerahnya atau dengan kata lain masing- masing daerah saling melempar tanggung jawab dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat maupun pembangunan di bagian wilayah tersebut. (2) Kedua, daerah yang satu dapat dianggap melampaui batas kewenangan daerah yang lain sehingga berpotensi timbulnya konflik antar daerah.
Kekaburan batas daerah mungkin juga dapat menimbulkan dampak negatif yang lebih luas lagi dari sekedar potensi konflik antar daerah karena potensi strategis dan ekonomis suatu bagian wilayah, seperti dampak pada kehidupan sosial dan penyelenggaraan administrasi pemerintahan bahkan mungkin juga menimbulkan dampak politis khususnya di daerah-daerah perbatasan.
Oleh karena itu dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan, penegasan batas daerah menjadi penting untuk dilaksanakan. Apabila disimak secara cermat mengenai permasalahan sengketa tapal batas wilayah administratif antar daerah yang banyak terjadi tak terkecuali konflik tapal batas kawah ijen maka ini merupakan suatu ancaman serius bagi disintegrasi bangsa ke depan.
Sengketa tapal batas kawah Ijen di mulai dari tahun 2006 dimana para pihak yang berselisih yaitu Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dengan Pemerintah Kabupaten Bondowoso yang sama sama mengklaim atas batas daerah kawah ijen. Yang Kemudian Pemerintah Provinsi Jawa timur dalam hal ini Gubernur Jawa timur mempertemukan para pihak untuk bermediasi serta membuat Berita Acara Kesepakatan batas daerah kawah ijen yang harapan nya lalu bisa di tetapkan oleh Menteri Dalam Negeri.
Pertemuan (1) pertama dimulai dari Tanggal 16 Juli 2019 yang poin pokoknya para pihak bersepakat bahwa 1/3 masuk wilayah Kabupaten Bondowoso dan 2/3 masuk wilayah Banyuwangi.
Kemudian pertemuan kedua pada tanggal 9 Juli 2020 yang poin pokoknya para pihak bersepakat bahwa kawah ijen secara keseluruhan masuk wilayah kabupaten Banyuwangi.
Selanjutnya pertemuan (3) ketiga tanggal 20 Mei 2021 yang poin pokoknya para pihak tidak ada kesepakatan karena Kabupaten Bondowoso tidak mau tandatangan berita acara kesepakatan.
Pertemuan keempat atau yang terakhir pada tanggal 3 juni 2021 yang poin pokoknya para pihak sepakat tandatangan berita acara kesepakatan bahwa 1/3 masuk wilayah Kabupaten Bondowoso dan 2/3 masuk wilayah Banyuwangi yang dibuktikan dengan berbagai foto dukumentasi yang beredar di media sosial.
Hal yang mengejutkan pada saat beredar gambar surat perihal Penarikan tandatangan Bupati Banyuwangi dalam berita acara kesepakatan dengan alasan adanya penekanan dan pemaksaan dalam proses tandatangan.
Padahal sebagaimana Peraturan Presiden Nomor 80 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Jawa timur bahwa Kawah Ijen masuk dalam kawasan yang diproyeksikan dapat meningkatkan investasi dan pertumbuhan ekonomi kawasan yang berdampak pada perekonomian regional dan nasional.
Kawasan Pendukung Selingkar Ijen memendam potensi geopark yang dapat dikembangkan menjadi destinasi wisata baru berbasis geologi. Kawasan Pendukung Selingkar Ijen juga memiliki potensi geothermal (panas bumi), sehingga dapat dikembangkan sebagai pembangkit listrik tenaga geothermal yang lokasinya berada sekitar Pegunungan Ijen (Gunung Ijen dan Gunung Argopuro).
Oleh karenanya kami, pertama mendesak Bupati Banyuwangi dan Bupati Bondowoso untuk bertanggungjawab dan terbuka kepada publik baik berkaitan dengan berbagai proses penyelesaian sengketa maupun besaran anggaran yang di gunakan untuk penegasan batas daerah kawah Ijen.
Kedua mendesak Menteri Dalam Negeri RI untuk menegur Gubernur Jawa Timur yang tidak menjalankan sesuai amanat Permendagri No 141 tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah, terutama persoalan waktu pertemuan para pihak dan proses pembuatan Berita Acara Kesepakatan.
Dan yang ketiga mendesak Menteri Dalam Negeri RI untuk segera mempertemukan para pihak, Bupati Banyuwangi, Bupati Bondowoso dan Gubernur Jawa Timur sebagaimana yang amanatkan dalam Permendagri no 141 tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah.
Terakhir ke empat mendesak Menteri Dalam Negeri RI untuk mempertimbangkan aspek sosiologis, historis, yuridis, geografis dalam proses penetapan batas kawah Ijen.