Banyuwangi. seblang.com – Dua kapal LCT Putri Sritanjung milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi dahulu mampu memberikan kontribusi miliaran rupiah bagi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Banyuwangi. Karena diduga salah urus beberapa tahun lalu satu kapal dilelang dan laku terjual sebagai barang rongsokan yang dijual kiloan.
Menurut Ahmad Mustain yang akrab disapa Tain Laros, Penasehat Paguyuban Supporter Laros Jenggirat (PSLJ) Banyuwangi, kapal itu dijual setelah ditelantarkan penyewa PT Pelayaran Banyuwangi Sejati (PT PBS). Bahkan kondisi kapal yang sandar di pantai Banyuwangi Beach rusak parah. Tidak adak upaya serius dari pihak yang berkompenten untuk menangani dan menuntaskan.
“Komitmen sewa tidak dibayar, manajemen mengembalikan kapal kepada Pemkab Banyuwangi dalam keadaan rusak (badan kapal patah-red) selesai seolah-olah tidak ada masalah. Tanggung jawab Pemkab menjaga merawat dan memelihar aset daerah bagaimana ? Tugas pokok dan fungsi kontrol dan pengawasan dari DPRD Banyuwangi dimana ? Peran aktif aparat penegak hukum (APH) dalam membantu pemerintah kok belum ada? Sebagai rakyat kami juga berhak bertanya kan,” tegas Tain Laros di rumahnya Selasa (6/07/2021)
Dalam ingatannya proses pembelian Kapal Sritanjung merupakan gagasan brilian mantan Bupati Samsul Hadi pada melhat potensi sumber pendapatan bagi Banyuwangi yang memiliki pelabuhan Ketapang. Bahkan prosesnya memakan korban dari eksekuif, legislatif bahkan pihak rekanan harus mendekam di Lembaga Pemasayarakatan (LP) karena dugaan korupsi dan divonis bersalah oleh aparat hukum.
Kemudian ide yang kedua pendirian Badan Usaha PT Putra Banyuwangi Sejati (PT Trabasti) di Desa Bangsring, Kecamatan Wongsorejo Banyuwangi, Jawa Timu Produk Usaha : Jasa Pemeliharaan Kapal Laut yang membidik pasar para pemilik kapal dari wilayah Indonesia Timur.
Jasa perbaikan kapal tersebut bekerja sama dengan salah satu koperasi TNI dan pihak ketiga membuat perusahaan docking kapal untuk melayani perbaikan kapal. Walaupum akhirnya berurusan dengan APH karena dugaan kecurangan pihak ketiga. Nasibnyapun belum ada kepastian sampai dengan saat ini.
Selanjutnya gagasan brilian ketiga adalah membangun bandar udara (Bandara) Blimbingsari yang menjadi pintu pembuka untuk percepatan pembangunan dan kemajuan Banyuwangi.
Proses pembangunan bandara Blimbingsari lagi-lagi memakan korban karena berurusan dengan hukum antara lain; Ratna Ani Lestari (Bupati Banyuwangi), Camat Kabat, Pihak pengusaha dan beberapa korban yang lain.
“Untuk nama Bandara Blimbingsari yang masa itu disayembarakan dalam harian lokal Banyuwangi sebelum ditetapkan, dengan gampang dan mudah disertai berbagai alasan yang tidak penting. Bupati dan pihak yang terlibat dalam proses pergantian nama Bandara Blimbingsari seolah tidak memahami sejarah dan tidak menghargai jasa para pendahulunya,”pungkas Tain Laros kepada wartawan media ini. (nurhadi)