Jenang Lintang dan Alunan Gendhing Petek-Petek Suku Warnai Tradisi Mudun Lemah Masyarakat Oesing

by -1220 Views
Tradisi Mudun Lemah masyarakat Kampung Dukuh, desa/kecamatan Glagah Banyuwangi

Banyuwangi, seblang.com Jenang lintang, suruh godhong nangka dan alunan Gendhing Petek-Petek Suku mewarnai tradisi mudun lemah (turun tanah) menandai anak berusia 7 (tujuh) bulan. Sebuah tradisi masyarakat Oesing yang tetap terpelihara terjaga dan dilestarikan sampai saat ini di Kampung Dukuh desa/kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi.

Menurut Sanusi Marhaedi alias Kang Usik, Tokoh Masyarakat Oesing setempat, jenang lintang dan ubo rampe ritual yang lain termasuk suruh daun nangka mengandung arti dan makna masyarakat Kampung Dukuh Desa Glagah siap menerima warisan budaya leluhur yang memiliki nilai tinggi seperti bintang, siap menjaga dan melestarikan akan tidak punah di tengah serbuan budaya luar.

“Masyarakat kami guyub rukun dalam menjaga tradisi warisan leluhur agar tidak ada aral melintang dalam mengarungi kehidupan termasuk tradisi mudun lemah atau turun tanah bagi bayi yang berusia 7 bulan,” jelasnya.

Selanjutnya Kang Usik menuturkan dalam rangkaian acara tradisi masyarakat Oesing anak yang berumur 7 bulan dinaikan pada anak yang lebih besar atau menggambarkan naik kuda yang diiringi dengan gendhing sakral “Petek-petek suku” atau pijat-pijat kaki merupakan bentuk kearifan lokal dan kesadaran proses belajar sejak dini yang harus dilalui seorang anak yang membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupanya.

Menurut dia anak kecil akan melalui proses merangkak, berdiri, berjalan, berlari dan seterusnya. Kemudian diiringi dengan alunan musik angklung yang melantunkan gendhing “petek-petek suku”, yang intinya mengajarkan anak butuh dipijat agar tambah kuat.

Selain itu dalam gendhing sakral tersebut ada ajaran luhur yang perlu diikuti oleh anak-anak dalam hidup dan kehidupanya, antara lain syair,”Ojo Siro Mlaku Ring Dalan Pinggir Nawi-nawi Siro Dicethol Ulo, Kesuk Ojo Siro Demen Omong Sembur-sembur gara-garai Wong Liyo Ngersulo,”yang intinya mengajarkan dalam bergaul orang jangan suka menyindir orang lain agar orang lain tidak sakit hati, imbuhnya.

Kemudian yang lain, imbuh Kang Usik, syair”Ojo Siro Lewat Ring Dalan Tengah Nawi-nawi siro Kesandung Beling, Ojo Siro Dadi Seneng Fitnah Garai Wong Liyo Muring, sebuah ajaran agar manusia jangan suka menebar fitnah yang  akan mengakibatkan orang lain marah.

Sementara Miskawi, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Kabupaten Banyuwangi, kegiatan tradisi mudun lemah yang dilaksanakan oleh warga masyarakat Kampung Dukung Desa Glagah merupakan salahsatu bentuk upaya merawat atau uri-uri warisan budaya leluhur yang patut mendapatkan apresiasi.

Menurut dia banyak pesan moral yang disampaikan dalam tradisi muali dari nilai-nilai sosial,  kerukunan kekompakan dan gotong royong masyarakat sekaligus perwujudan nilai-nilai Pancasila yang masih terjaga di masyarakat Oesing.

“Pada dasarnya ritual ini tidak hanya turun tanah namun bagaimana mempersiapkan generasi agar memiliki tujuan yang dipersiapkan sejak anak usia berusia tujuh bulan. Ini merupakan cara merawat warisan tradisi budaya yang ada di wilayah Banyuwangi,” jelas Miskawi.

Wartawan : Nurhadi

iklan warung gazebo